“Kalian lagi marahan?” Chan tertawa gugup sambil tangan mengipasi tubuhnya yang mendadak panas. Panas karena Changbin dan Seungmin duduk mengapitnya, seolah tidak ada bangku lain yang tersisa.
“Nggak, kok, Kak. Kami biasa aja.” Meski berkata dengan lembut dan diiringi senyuman, Seungmin langsung melengos begitu bertatapan dengan Changbin. “Iya, nggak, Mas?” tanyanya dengan nada tajam.
“Jangan ganteng-ganteng, deh, Ay. Nanti Mas kalah ganteng, gimana?” Changbin terkekeh saja. Ia puas karena telah berhasil menciptakan rengutan di wajah sang kekasih, dalam waktu lumayan lama. Artinya, makin lama pula bagi Changbin untuk menikmati ketampanan Seungmin itu.
“Langsung aja, gue nggak biasa jadi nyamuk sendirian,” sahut Chan sambil tetap mempertahankan senyuman. Ia tidak kesal, sungguh. Ia hanya heran dengan tingkah keduanya sampai bisa berakhir menjadi pacaran seperti sekarang.
Pacaran, ya? Apa gue sama Minho bisa seasyik ini kalau pacaran? Chan menggeleng detik itu juga. Tawanya mengudara dengan datar saat pikiran tersebut terlintas.
“Lo, sih, Mas! Kelamaan jadinya, kan?” Seungmin mencibir, sambil tangannya melewati Chan untuk mendorong punggung Changbin yang duduk di sisi lain. “Sorry, ya, Kak. Kami cuma pengen nanya, tentang lo sama Kak Min, ... Lo jadi nembak dia waktu itu?”
Chan tidak lekas menjawab. Ia tunggu beberapa detik terlewat sebelum akhirnya berkata, “Iya. Jadi, kok, ... kalau bisa disebut nembak juga, sih.”
Seungmin terkejut, juga Changbin yang langsung keluarkan suara lantangnya. “Chan, lo bersekongkol sama Seungmin! Kok, lo tega, sih, Ayang?” tanyanya yang malah tertuju pada sang kekasih meski nama Chan disebut lebih dahulu.
Sayang, Seungmin memilih mengabaikan Changbin. Kini, ia hanya berfokus pada Chan seorang. “Terus-terus, gimana, Kak? Kalian udah pacaran?” Ia penasaran.
“Ayang ....”
Chan terkekeh, datar. “Nggak pacaran,” jawabnya serupa bisikan, “soalnya Minho belum jawab sampai sekarang ....”
Seungmin sudah akan membalasnya, mungkin dengan beberapa makian yang ditujukan kepada Minho. Namun, Changbin hentikan itu semua dengan sentuhan ringan di bahu si empunya. Tanya Changbin pada Chan kemudian, “Ada yang ganggu pikiran lo, sampai lo biarin aja ini kejadian?”
Lagi-lagi, Chan tertawa dengan sendu. Butuh waktu baginya untuk kembali bercerita. Sungguh, isi pikirannya sangat rumit, juga bahunya terasa berat seolah banyak tekanan menimpanya. Chan memikirkan semua sampai ke detailnya.
“Gue takut ke depannya, Bin.” Chan benarkan duduknya, beri sedikit jarak antara ia dengan Changbin dan Seungmin yang mengapitnya. “Waktu gue nembak Minho, gue mikir pendek banget. Gue kira dia bakal pergi habis itu, ternyata dia masih ada di deket gue sampai sekarang, dan gue bersyukur banget meski sikap dia kayak ngelupain pernyataan suka gue.”
Chan tengok jam di atas papan tulis, masih ada lima belas menit sebelum pergantian pelajaran, masih ada waktu pula sebelum Minho dan Hyunjin kembali dari kantin untuk duduk lagi di samping Chan, sebagai teman sebangku seperti biasa. Chan embuskan napas dengan lega, setidaknya itu yang ia usahakan. Kalimatnya lantas terbang bebas, terbawa udara yang bergerak sejukkan tubuhnya.
“Gue nggak mau maksa dia, Bin, Min. Lagian, kalau gue pikir secara panjang sekarang, gue nggak bisa ngimbangin dia.” Chan tertawa, masih ada nada sedih tersirat yang bergetar dalam kata-katanya. “Coba lo berdua bayangin, kalau kami jadian, gue nggak bisa ngajak dia makan enak, nonton, atau apa yang biasa dilakuin pasangan. Gue bakal sibuk kerja, jaga adek-adek gue, ngejar tugas sekolah. Nggak ada yang beda juga, kan? Malah, lebih baik kayak sekarang ....”
KAMU SEDANG MEMBACA
MILD [Banginho/Minchan]
FanfictionChan tidak pernah berpikir bahwa ia akan menyukai teman sebangkunya. Pun, tidak pernah menyangka bahwa sering menghabiskan waktu bersama di kontrakan kecil dapat menumbuhkan rasa cinta. Tidak pernah. Tidak sama sekali. Apa lagi, dengan adanya tiga b...