Mentari perlahan mulai naik ke atas dengan malu-malu. Kini, sang fajar telah menyingsing, berganti dengan sinar mentari yang telah bertahta. Kicauan burung perlahan mulai terdengar. Udara yang tadinya dingin kini menjadi semakin hangat.
Jiwa alamiah Feby yang mengatakan bahwa ini sudah saatnya untuk bangun mulai memberi instruksi untuk matanya agar membuka. Langit-langit berwarna putih adalah hal yang pertama kali ia lihat. Selepas itu, tangannya berusaha meraba-raba sofa di dekatnya untuk mencari ponsel pintar.
Bukannya mendapat yang ia inginkan, ia malah merasa tengah menyentuh rambut seseorang. Gadis tersebut pun memilih bangkit dari tidur untuk mengetahui siapakah sang pemilik rambut.
"Kak Daniel," lirihnya ketika berhasil menatap wajah tegas di hadapannya tengah tertidur.
Feby pun menerbitkan senyuman kecil. Ia lantas menengok teman-temannya yang juga masih terlelap. Maklum, kemarin mereka tak bisa tidur hingga dini hari. Ditambah lagi sekarang adalah hari Minggu, jadi tak apalah jika mereka harus bangun lebih siang dari biasanya. Bahkan, ia baru saja ingat bahwa sejak kemarin malam ponselnya sudah tak ia pegang lagi. Mungkin jatuh sewaktu orang misterius itu menculiknya. Mengingat itu, bulu kuduk Feby kembali meremang.
Tiba-tiba, netra Feby tak sengaja menangkap sepucuk kertas di dekat kekasihnya. Memberanikan diri, ia mengambil kertas tersebut dan menyimpannya di saku baju—setelah menyempatkan untuk membaca judul di sana.
"Girl?"
Gadis tadi tersentak. Jangan bilang kalau ketua geng ini mengetahui apa yang baru saja ia lakukan.
"Udah bangun?" tanya lelaki tadi dengan suara serak.
Feby tersenyum kaku. "Udah."
Daniel pun mengangguk. Ia membelai pipi gadisnya dengan lembut. "Ada yang sakit nggak?"
Gadisnya menggeleng. "Aku gak kenapa-kenapa, Kak. Udah dong jangan khawatir terus. Kemarin Kak Daniel tidur jam berapa?"
"Aku tidur jam 4 pagi."
Gadis tadi membulatkan matanya. "Ih, yaudah kalau gitu tidur lagi! Masa tidur cuma 2 jam doang."
"Aku gak mau tidur."
"Lah, terus?"
Sang ketua geng nampak berdehem sekali.
"Aku mau liatin kamu aja."
***
Ghani membuka mata secara perlahan. Kepalanya masih sedikit pusing karena kebutuhan tidur normalnya tak tercukupi. Setelah puas berkedip-kedip, ia meraih ponsel pintar di dekatnya.
Lock screen dengan wallpaper seorang gadis terpampang jelas di sana. Lelaki tersebut sedikit terpesona kala melihatnya. "Cantik."
Ia membuka ponsel pipih itu dan mulai melihat-lihat isinya. Masa bodoh ia dianggap tak menghargai privasi, dia hanya ingin mencari tahu siapakah orang yang telah membawa Feby ke ruangan terbengkalai kemarin malam. Mungkin dengan melihat isi ponsel gadis itu, dia jadi tahu apakah Feby tengah ada masalah dengan orang lain atau tidak.
Ketika lelaki itu membuka aplikasi pesan berikon hijau, ia tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Ia menyerah, lantas memilih untuk melihat-lihat isi galeri.
Beratus bahkan beribu foto nampak terpampang di sana. Ghani tersenyum samar, sudah lama ia tak merasa bahagia seperti ini saat melihat wajah seorang gadis. Seingatnya, terakhir kali ia merasakan rasa ini ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar.
"Gila sih, pantes si kuda nil itu gercep banget dapetin nih cewek. Geulis pisan, euy!"
Ia terus menggulir foto demi foto yang ada, hingga akhirnya ia terdiam. Seolah terkunci seluruh jiwa dan raganya untuk menatap pemandangan yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thirty Days With You
Fiksi RemajaBagaimana jadinya jika kita mengadakan sebuah hubungan palsu dengan alibi menebus kesalahan? Akhirnya akan bahagia karena kita saling cinta atau sebaliknya, karena tidak ada cinta di antara kita? Semua itu akan dijelaskan dalam cerita ini, dengan to...