Tepat dua bulan telah berlalu sejak Clara duduk di kelas dua belas, dan sampai hari ini dia masih saja belum mempunyai teman dekat, meskipun begitu dia merasa nyaman-nyaman saja. Baginya, dia harus semakin semangat belajar di kelas dua belas ini, bukan mengurusi hal-hal tidak penting seperti mempunyai seorang teman.
Clara memasuki ruang kelasnya yang masih kosong melompong. Seperti hari-hari sebelumnya, dia mengambil tempat duduk barisan paling depan. Tujuannya agar lebih berkonsentrasi dalam mendengarkan penjelasan guru, kalau duduk di belakang yang ada malah berisik.
Membuka tas, mengeluarkan buku catatan, lantas membacanya, itu juga hal yang selalu Clara lakukan setiap tiba di kelas dan duduk di kursinya. Gadis itu tidak peduli dengan hal lain, dia hanya harus fokus belajar agar bisa menggapai impiannya. Katakanlah dia terlalu ambisius, dan kenyataannya memang begitu, dia sendiri mengakuinya.
Satu per satu teman sekelas mulai berdatangan. Tak ada yang menyapa Clara, karena gadis itu terlihat amat serius dengan buku di tangannya. Bahkan, hingga kelas penuh dan suasana yang awalnya hening menjadi berisik seperti pasar, tetap saja tak ada yang menyapa Clara.
Clara menutup buku tulisnya dan decakan kesal keluar dari mulut gadis itu. Dia tidak bisa konsentrasi dalam belajar jika suasananya berisik seperti ini. Gadis itu lantas menoleh ke belakang, memindai teman sekelasnya satu per satu. Ada yang tengah asyik bergerombol dan bergosip ria, ada yang tengah menyalin alias menyontek PR, selain itu ada juga yang tengah duduk berdua di pojok ruangan dengan wajah berseri-seri-kaum bucin yang tengah berpacaran. Clara geleng-geleng kepala melihat mereka. Apakah mereka tidak memikirkan masa depan? Bagaimana bisa mereka tidak belajar padahal sudah kelas dua belas?
Di saat gadis itu masih asyik mengamati teman-teman sekelasnya, tiba-tiba seorang lelaki bertubuh jangkung melangkah mendekat ke arahnya. Seingat Clara, namanya adalah Dewangga atau teman-teman sekelasnya memanggil dia dengan nama Dewa. Dia adalah salah satu lelaki yang terkenal tampan di sekolahnya. Namun, bagi Clara lelaki itu tak ubahnya hanyalah seseorang yang berotak udang, bodohnya sudah pangkat tiga. Bagaimana tidak? Setahu Clara-dia mendengarnya dari gosipan para siswa-Dewa ini selalu menduduki peringkat akhir di kelas dan peringkat hampir akhir secara paralel.
Clara menatap Dewa yang kini duduk di bangku kosong di sebelah Clara. Gadis itu melipat tangannya di depan dada, dia penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh teman sekelasnya yang berotak udang ini.
"Lo yang namanya Clara kan?" tanya Dewa.
Clara mengangguk. "Ya."
"Gue mau minta tolong sesuatu, please ... bantuin gue," ujar Dewa dengan tampang memelas.
Clara terdiam, menanti Dewa melanjutkan ucapannya.
"Gue dapat dare untuk pacaran sama lo. Cuma satu bulan aja, mau kan?"
"Nggak," tolak Clara dengan cepat.
Dewa terbelalak. "Kenapa?"
"Gue nggak mau pacaran sama cowok bodoh."
Seketika, Dewa mati kutu.
"Lo udah selesai ngomong? Pergi sana ke bangku lo, bel masuk udah bunyi," ucap Clara. Gadis itu mengalihkan pandangannya dari Dewa yang masih terdiam di tempat bak patung. Mengabaikan Dewa, Clara lantas mengeluarkan alat tulisnya, bersiap untuk pembelajaran di jam pertama.
Seorang guru bertubuh gempal memasuki ruang kelas. Clara duduk tegak dan berujar dengan lantang. "Beri salam!"
"Selamat pagi, Pak!" seru seluruh siswa.
"Pagi juga. Silakan dipimpin berdoa, ketua kelas," ujar Pak Fahri-guru bertubuh gempal itu.
Clara mengangguk patuh. Gadis itu hendak berujar untuk memimpin doa, namun sosok Dewa yang masih terdiam di sebelahnya membuat gadis itu mengernyit. "Dewa. Lo mau tetap di sini? Udah ada guru tuh," ujar Clara sembari menggoyang tubuh Dewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambitious Girl (TAMAT)
Подростковая литература"Gue dapat dare untuk pacaran sama lo. Cuma satu bulan aja, mau kan?" "Nggak." "Kenapa?" "Gue nggak mau pacaran sama cowok bodoh." *** Clara hanya tahu tiga kata: belajar, belajar, dan belajar. Bagi gadis itu, hidup adalah untuk belajar dan belajar...