Bab 13 - Khawatir

2.8K 384 0
                                    

Waktu terus bergulir hingga hari PTS tiba. Saat ini Dewa terlihat tengah mondar-mandir di depan ruang tes. Lima belas menit lagi PTS akan segera dimulai, namun dia belum juga melihat Clara, padahal mereka satu ruangan. Atau jangan-jangan, Clara salah masuk ruangan?

Hingga bel masuk berbunyi, Dewa belum juga melihat batang hidung Clara. Menyerah, lelaki itu memasuki ruangan bersama para siswa yang lain dan duduk di tempat duduk sesuai nomor kartu peserta PTS.

Baru saja sekitar satu menit Dewa mendudukkan diri, dia membola ketika melihat siapa yang datang. Itu Clara! Gadis itu memasuki ruangan dengan langkah pelan. Mata Dewa menyipit, lelaki itu mengernyit ketika melihat wajah pucat Clara. Jangan bilang, gadis itu sakit gara-gara tidak tidur untuk belajar?

Dewa terus saja memperhatikan Clara sampai gadis itu duduk di bangkunya. Jarak tempat duduk Dewa yang terpaut cukup jauh dengan tempat duduk Clara membuat lelaki itu tak dapat melihat wajah Clara dengan jelas.

Kertas soal mulai dibagikan. Mata pelajaran pertama yang diujikan adalah Matematika Wajib. Dewa langsung mengerjakan soal dengan asal, Matematika dan pelajaran hitungan lainnya adalah kelemahan lelaki itu. Dia lebih suka mengerjakan soal teori.

Setelah mengerjakan beberapa soal, Dewa menoleh ke bangku Clara. Dapat dia lihat kalau gadis itu tengah menunduk entah karena apa. Penasaran, dia sedikit mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat apa yang tengah dilakukan oleh Clara.

"Peserta nomor 149!" seru pengawas ruangan, menunjuk ke arah Dewa.

Dewa yang merasa dipanggil pun langsung menegakkan duduknya dan menghadap ke depan. "Ya, Bu?" sahut lelaki itu sambil mengulas senyum.

"Kenapa kamu terus melihat ke arah sana?" tanya sang pengawas sembari menunjuk arah tempat duduk Clara. "Kamu sedang menunggu contekan?"

Dewa menggeleng. "Tidak, Bu," jawab lelaki itu. Berdecak kesal, dia kembali melanjutkan mengerjakan soal-soal.

Waktu terus bergulir hingga tersisa setengah jam lagi sebelum waktu PTS mata pelajaran pertama berakhir. Sebenarnya saat ini para siswa yang sudah selesai mengerjakan soal bisa keluar ruangan. Namun, tidak bagi Dewa, lelaki itu masih belum selesai. Helaan napas keluar dari mulutnya, ternyata mengerjakan soal Matematika-walaupun mengarang jawaban-tetap saja susah.

Suara langkah seseorang membuat Dewa mendongak. Lelaki itu tertegun ketika melihat Clara telah selesai mengerjakan soal. Gadis itu keluar ruangan dengan langkah terburu-buru, bahkan berlari ketika sampai di depan ruangan.

Dewa tidak tahan lagi, rasa penasarannya dan kekhawatirannya sudah di ujung tanduk. Setelah menyilang beberapa jawaban dan mengisi bagian essay yang kurang-masih dengan mengasal-lelaki itu pun bergegas bangkit dari tempat duduknya, menyudahi kegiatan mengerjakan soal.

Dewa melangkah keluar ruangan setelah menyalami para pengawas. Lelaki itu mengedar, mencari sosok Clara. Di mana gadis itu? Mengapa tidak ada di depan ruangan?

Berbekal asumsi mungkin saja Clara tengah sarapan di kantin, lelaki itu pun melangkah ke arah kantin. Baru beberapa meter menjauh dari ruangan, dia melihat sosok Clara keluar dari toilet dengan hidung yang tersumpal tissue. Sepertinya sekarang Dewa tahu Clara kenapa. Lelaki itu pun melangkah cepat menghampiri Clara.

"Lo mimisan?" tanya Dewa begitu sampai di depan Clara. Lelaki itu tidak dapat menutupi raut cemasnya.

"Minggir," ucap Clara. Gadis itu sedang tidak ingin diganggu, karena itulah saat Dewa melangkah minggir, dia pun langsung melewati lelaki itu.

Clara mendudukkan diri di depan ruang PTS. Gadis itu duduk di lantai sembari bersandar ke tembok. Selang beberapa detik, dia mengeluarkan buku catatan Sejarah, sebab mata pelajaran yang diujikan setelah ini adalah Sejarah.

Clara memekik kaget ketika buku catatannya dirampas oleh seseorang. Kesal, gadis itu pun mendongak dan mendapati Dewa sebagai pelakunya.

"Wa!" seru Clara, suaranya melemah. Dia sangat lemas sekarang dan dia tidak ingin tenaganya terbuang sia-sia karena meladeni Dewa. Namun, lelaki itu malah mengganggunya.

Dewa duduk di sebelah Clara masih dengan memegang buku catatan gadis itu, enggan mengembalikannya.

"Bukunya gue simpan dulu," ujar Dewa.

Clara memijat pelipisnya, mendadak kepalanya yang tengah pening kini bertambah pening. "Kembaliin, Wa, jangan ganggu gue dulu hari ini," tutur gadis itu dengan suara pelan.

"Lo begadang semalam?" tanya Dewa sembari mengamati wajah Clara dari dekat. Gadis itu benar-benar pucat.

"Kembaliin buku gue." Sungguh, Clara sedang tidak ingin berdebat. Dia hanya ingin belajar agar nilai Sejarahnya bisa naik nanti.

Dewa menghela napas. "Lo bisa nggak sih jangan terlalu memforsir diri lo untuk belajar? Nilai lo udah tinggi kok, gue yakin nggak akan ada yang bisa nyaingin. Jadi, sekarang-"

"Diam lo. Gue nggak mau diceramahin," potong Clara dengan raut datar. Sorot mata gadis itu menajam.

Dewa terdiam kaget. Clara sepertinya benar-benar gila, maksudnya gila belajar. "Clar, lo-"

"Buku gue," potong Clara lagi. Gadis itu menengadahkan tangannya, meminta bukunya kembali.

Belum menyerah, Dewa mengangkat tangannya lantas menempelkan punggung tangannya ke dahi Clara. "Hangat. Lo demam?" tanyanya. Dia terlihat semakin cemas.

Clara menggeleng, gadis itu menepis tangan Dewa dari dahinya.

"Wa, buku."

Sepertinya Clara tengah menahan diri untuk tidak mengamuk. Dewa benar-benar tengah menguji kesabaran gadis itu.

"Lo sakit, Clar. Jangan belajar dulu, kalau bisa lo nggak usah ikut tes untuk mapel kedua, lagian bisa susulan kok. Mending lo sekarang ke UKS aja gimana? Gue-"

"Gue bilang diam ya diam! Nggak usah ikut campur tentang masalah gue!" seru Clara dengan intonasi tinggi.

Dewa mematung, bola mata lelaki itu membesar, namun dadanya bergerak naik-turun. Dia terkejut, tetapi juga terbawa emosi. Baru kali ini ada yang membentaknya padahal niatnya baik.

"Gue khawatir sama lo! Apa itu salah?!" seru Dewa dengan intonasi bicara yang tak kalah tinggi.

Kali ini giliran Clara yang terkejut. Gadis itu terdiam membisu.

Dewa menetralkan napasnya yang sempat memburu. Ketika melihat Clara hanya terdiam menatapnya dengan raut kaget, dia pun tersadar dengan apa yang baru saja dia lakukan.

"Maaf," ucap Dewa, dia terlihat menyesal telah membentak Clara.

Clara mengerjap, gadis itu terdiam selama beberapa detik. "Lo ... khawatir? Kenapa?"

"Lo cewek gue, terlepas dari kita cuma pacaran pura-pura. Gue juga udah anggap lo teman gue, ya jelaslah gue khawatir kalau lo kenapa-napa," ujar Dewa dengan diiringi senyuman di wajah tampannya.

Clara mengangguk-angguk, dia baru saja mendapatkan pemahaman baru. "Oh, jadi gitu, ya? Sesama teman harus menaruh perasaan khawatir ke satu sama lain?" tanyanya dengan raut penasaran. Dia telah melupakan tujuan utamanya untuk mendapatkan buku catatannya, kali ini fokusnya teralihkan dengan perkataan Dewa tentang kekhawatiran lelaki itu.

Dewa tertegun mendengar pertanyaan Clara. Ketika teringat dengan cerita orang tua Clara dan cerita Ares mengenai Clara, dia pun mengulas senyum lebih lebar. "Ya. Tapi nggak cuma ke teman, ke orang lain juga gitu."

"Bahkan walaupun gue nggak kenal sama orang itu?" heran Clara. Apakah dia harus menaruh perasaan khawatir ke orang yang tidak dia kenal? Bukankah sebaiknya dibiarkan saja? Menurut Clara, urusan orang lain ya urusan mereka, bukan urusan dirinya.

Dewa mengangguk. "Betul. Kalau ada orang lain yang terluka, sakit, sedih, takut, dan perasaan negatif lainnya, sebisa mungkin kita khawatir sama mereka. Lalu, tanyain juga, mereka kenapa dan butuh bantuan atau enggak," jelasnya. Dia merasa seperti seorang guru yang tengah mengajar muridnya.

Clara manggut-manggut. "Oh ... gitu. Gue akan coba nerapin omongan lo." Gadis itu terdiam sejenak masih dengan menatap Dewa, tak berselang lama dia mengulas senyum. "Makasih, udah khawatir sama gue."

Detik itu juga, Dewa terpaku. Lelaki itu terpana dengan jantung yang berdegup begitu kencang dan wajahnya mulai terasa panas. Senyum Clara terlihat amat cantik di matanya.

Ambitious Girl (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang