Happy reading!
***
“Maaf, gue nggak bermaksud ngebentak lo,” ujar Dewa setelah menyadari apa yang baru saja dia lakukan, ditambah lagi Clara masih tampak mematung.
Clara mengerjap, kemudian gadis itu kembali fokus menatap Dewa. “Nggak apa-apa, gue cuma kaget aja.”
Dewa balas menatap Clara dalam diam, dia bingung hendak membicarakan apa. Lelaki itu memilih untuk menggeser duduknya. “Lo mau duduk? Maaf nggak ada kursi di sini.”
Clara yang berdiri sejak tadi dan merasa kalau kakinya sudah pegal pun beranjak mendekat ke ranjang Dewa. Gadis itu duduk di tepi ranjang masih dengan menatap Dewa dengan raut datarnya.
Dewa yang ditatap terus-menerus oleh Clara mendadak gugup, dia pun memalingkan wajahnya ke arah lain. Clara sungguh berbeda dengan gadis yang lain. Jika gadis lain menatap Dewa dengan tatapan kagum penuh cinta, maka Clara tidak, tatapan gadis itu tajam dan intens hingga membuatnya jengah.
“Tentang omongan lo sebelumnya,” ucap Clara memecah keheningan.
Dewa terdiam, namun lelaki itu kembali menatap Clara, menanti gadis itu lanjut berbicara.
“Lo bilang gue nggak tahu rasanya nggak punya teman kan? Gue tahu kok gimana rasanya, tapi selama ini gue biasa-biasa aja.”
Dewa hampir lupa siapa gadis yang sedang berbicara kepadanya. Tentu saja Clara tidak mempunyai teman. Dia terkenal sebagai gadis pintar yang penyendiri, jika ada yang mengganggunya maka bersiap saja akan mendapatkan akibatnya.
“Maaf.” Hanya itu kata yang keluar dari mulut Dewa.
“Nggak masalah. Dan, soal omongan lo juga yang sebelumnya, gue emang belum pernah ngerasain dikasihani sama orang lain. Gimana sih rasanya dikasihani? Apa bakal ngebuat lo sakit hati atau terbebani?” tanya Clara dengan raut penasaran.
Dewa nyaris tertawa mendengar pertanyaan semacam itu dari Clara. Gadis itu seperti anak kecil saja, bertanya dengan tampang penasaran. Seingat Dewa, Clara memang banyak bertanya, apalagi kepada para guru jika pembelajaran tengah berlangsung. Apapun yang membuat gadis itu penasaran pasti ditanyakan, bahkan guru-guru sampai kewalahan menjawabnya.
“Uhm … rasanya dikasihani, ya? Bikin sakit hati sih, terutama tatapan mereka. Kalau dikasihani karena benar-benar perasaan simpati nggak bakal bikin sakit hati, tapi lain ceritanya kalau dikasihani terus mereka menjauh dan nggak mau dekat-dekat lagi. Gue nggak suka aja tatapan mereka yang nganggap gue orang paling menyedihkan, cowok lemah, dan semacamnya.” Entah Clara paham atau tidak maksud dari perkataan Dewa, namun itulah yang keluar dari mulutnya.
Mulut Clara terbuka. “Ah, gitu. Gue baru tahu orang kayak lo pernah dijauhi sama teman-teman. Gue kira lo populer dan selalu punya banyak teman.”
Dewa mengulas senyum, entahlah dia hanya ingin tersenyum, namun bukan senyum yang menunjukkan kebahagiaan. “Ya. Udah lama sih kejadiannya, waktu gue masih SD. Kalau sekarang, untungnya gue udah jadi cowok populer,” candanya.
Clara mendengkus. “Sombong.”
Dewa terkekeh mendengar ucapan Clara. “Lo harus senang karena udah berstatus sebagai pacar cowok populer.”
Lagi-lagi Clara mendengkus. “Dan lo juga harus senang karena udah berstatus sebagai pacar cewek terpintar di sekolah,” balasnya.
Clara dan Dewa saling tatap, tak berselang lama tawa menyembur dari mulut mereka. Clara akui, dia baru kali ini merasakan perasaan bahagia tertawa bersama teman sebaya. Karena selama ini dia hanya pernah tertawa bahagia bersama keluarganya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambitious Girl (TAMAT)
Подростковая литература"Gue dapat dare untuk pacaran sama lo. Cuma satu bulan aja, mau kan?" "Nggak." "Kenapa?" "Gue nggak mau pacaran sama cowok bodoh." *** Clara hanya tahu tiga kata: belajar, belajar, dan belajar. Bagi gadis itu, hidup adalah untuk belajar dan belajar...