Tepat dua hari setelahnya, Dewa sudah diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit, dan lelaki itu pun sudah kembali berangkat ke sekolah. Seperti biasa, saat ini dia tengah duduk di bangku sebelah Clara sambil mengamati gadis itu yang tengah asyik membaca buku.
“Guys! Gue mau ngomong sesuatu!”
Suara lantang yang terdengar dari arah depan membuat seluruh pasang mata beralih menatap ke arah Dinda. Gadis itu kini tengah berdiri di depan kelas dengan menyunggingkan senyum lebar. “Malam ini gue mau ngundang kalian ke acara pesta perayaan ulang tahun gue. Kalian bisa datang?” tanyanya.
Aziz, sang wakil ketua kelas itu langsung heboh. “Eh, lo ultah ya? Gue lupa. Selamat tambah umur!”
Setelahnya ucapan selamat ulang tahun diucapkan oleh teman-teman sekelas kepada Dinda, terkecuali Clara yang masih sibuk dengan buku di tangannya. Kebiasannya yang cenderung tidak peduli pada sekitar masih melekat di dalam diri gadis itu.
Dewa yang baru saja menghampiri Dinda untuk turut mengucapkan selama ulang tahun, kini kembali beranjak duduk di sebelah Clara. “Lo dateng kan?”
“Ke mana?” tanya Clara tanpa menatap Dewa.
“Ke acara ulang tahun Dinda.”
Clara melirik sekilas ke arah Dewa. “Lo dateng?”
“Hm. Lumayan, acaranya di cafe, pasti banyak makanan.” Dewa tertawa kecil setelahnya.
“Ya udah kalau lo dateng, gue juga dateng.”
Senyum Dewa mengembang. “Oke, gue jemput entar malam. Dandan yang cantik,” ledeknya sambil mengacak puncak kepala Clara.
Tanpa Dewa sadari pipi Clara bersemu merah setelahnya.
***
Dewa memarkirkan mobil yang dia bawa di halaman depan rumah Clara. Lelaki itu lantas beranjak menuju pintu rumah Clara dan memencet bel.
Pintu terbuka dan menampilkan sosok Ares. “Halo, Bang Dewa. Masuk, Bang.”
Dewa mengangguk, kemudian beranjak duduk di atas sofa disusul oleh Ares yang duduk di hadapannya.
“Lo mau ke mana sama Clara, Bang?” tanya Ares.
“Ke acara ulang tahun temen,” jawab Dewa, terdengar ramah. Lelaki itu lantas beratnya, “Clara masih di kamar ya?”
Baru saja Ares hendak menjawab, namun suara langkah kaki terdengar. Tepat saat itulah Dewa membeku dengan pandangan mata yang menunjukkan kalau lelaki itu terpana. Demi kerang ajaib! Clara terlihat cantik di matanya, bahkan terlalu cantik sampai dia takut lelaki lain akan tertarik. Untuk pertama kalinya dia melihat Clara mengenakan dress, ternyata sangat cocok di tubuh gadis itu. Mini dress berwarna hitam yang panjangnya tidak sampai selutut, mini dress tersebut menampilkan pundak dan leher jenjang gadis itu.
“Berangkat sekarang, Wa?”
Pertanyaan dari Clara berhasil menyadarkan Dewa. Lelaki itu berdehem, kemudian beranjak dari duduknya. “Yuk.” Dia beralih menatap Ares sejenak. “Duluan, Res.”
Ares melambai dengan cengiran khasnya.
Ketika sampai di luar rumah, Clara mengernyit melihat Dewa membawa mobil, bukan membawa motornya. “Tumben lo bawa mobil.”
Dewa mengulas senyum sembari membukakan pintu mobil untuk Clara. “Gue ada firasat kalau lo bakal pakai dress dan ternyata bener. Jadi gue bawa mobil deh, kalau pakai motor entar susah.”
Clara mengangguk-angguk, benar juga.
Ketika mobil yang dikendarai oleh Dewa mulai melaju membelah padatnya jalan raya di malam hari, suasana berangsur hening. Baik Clara maupun Dewa sibuk dengan pikiran masing-masing. Clara yang berpikir materi apa yang akan dia pelajari setelah pulang nanti, sedangkan Dewa sibuk mengenyahkan bayang-bayang gadis cantik di sampingnya yang malam ini terlihat begitu cantik.
Dewa memarkirkan mobilnya ketika tiba di cafe tujuan. Dia beranjak keluar mobil lantas membukakan pintu mobil untuk Clara.
“Makasih,” tutur Clara dengan senyum sebelum kembali berwajah datar.
Dewa mengangguk. Tanpa permisi tangan lelaki itu melingkar di pinggang Clara, memeluk gadis itu dari samping. Tindakannya membuat Clara sempat terkesiap kaget, namun gadis itu tak menolak.
Masuk di dalam cafe, suasana benar-benar ramai. Ternyata Dinda tidak hanya mengundang teman sekelas, tetapi nyaris satu angkatan datang di cafe ini. Dewa dan Clara saling pandang dengan raut bingung hendak menuju ke mana, sampai akhirnya mereka melihat lambaian dari Vino, sang anggota Geng Rajawali.
“Sini, Wa!” teriak Vino.
Dewa mengangguk, kemudian dia dan Clara melangkah mendekat menuju meja yang berisi anggota gengnya. Sampai di sana, terlihat seluruh pasang mata di meja tersebut menatap ke arah Clara dengan binar kagum.
“Gila, itu siapa?” tunjuk Dani ke arah Clara.
“Bidadari dari mana? Cantik banget,” sahut Vino.
Sedangkan Ardi dan Atha yang juga berada di meja tersebut hanya diam. Ardi yang masih menaruh secuil dendam hanya mendengkus mendengar omongan kedua temannya, lain halnya dengan Atha yang menatap Clara dengan tak berkedip, jelas sekali kalau lelaki itu terpesona.
Clara yang dipuji tampak diam saja dengan raut datarnya, tetapi tidak dengan Dewa yang tampak mendidih, apalagi saat lelaki itu menangkap basah Atha yang tengah mengagumi Clara.
“Kita pindah meja aja, jangan di sini,” ujar Dewa kepada Clara, kemudian beralih menatap anggota gengnya. “Gue ke sana, bye.”
“Yah, Dewa cemburuan, nggak asyik,” tutur Vino dengan memberengut.
Clara pun menurut saja saat Dewa membawanya ke meja kosong yang berada di pojok ruangan, bersebelahan dengan meja dari geng Ayu. Sekilas dapat Clara lihat Ayu menatap tajam ke arahnya sebelum kembali mengobrol dengan tiga temannya.
“Tau gini gue nggak usah nyuruh lo dandan yang cantik,” sesal Dewa ketika teringat godaan dari teman-teman gengnya, belum lagi lelaki lain juga sejak tadi tampak menatap minat ke arah Clara.
Clara tersenyum kecil mendengar ucapan Dewa.
Dewa yang melihat hal itu langsung menutup mulut Clara. “Jangan senyum! Entar yang lain suka!”
Menurut, Clara langsung melunturkan senyum, mendatarkan wajahnya.
Setelahnya mereka mulai menikmati band yang tampil di cafe tersebut. Selagi mendengarkan lagu yang dibawakan, tanpa permisi Dewa meraih tangan Clara di atas meja lantas mengenggamnya.
Clara yang merasakan tangannya digenggam beralih menatap Dewa. Gadis itu melempar senyum singkat kepada lelaki yang dia sukai itu, kemudian balas menggenggam tangan Dewa dengan erat.
Tanpa mereka sadari, Ayu yang berada di meja sebelah tampak mendidih melihat kemesraan di antara Dewa dan Clara. Peluangnya untuk mendapatkan Dewa benar-benar nol, apalagi lelaki itu terlihat membencinya akibat insiden dirinya yang mengirim chat kepada para siswa. Ayu merasa dia yang seharusnya mendapatkan Dewa, bukan Clara, karena dia yang lebih dulu menaruh rasa pada lelaki itu. Ini tidak bisa dibiarkan, Ayu akan segera mengambil tindakan.
***
Clara tiba di rumahnya jam sepuluh malam. Suasana di kompleks rumahnya sudah benar-benar sepi. Gadis itu melangkah keluar mobil, kemudian berdiri di depan teras rumahnya.
Dewa yang berdiri di hadapan Clara menarik tangan gadis itu secara tiba-tiba, kemudian meraih tubuh Clara ke dalam dekapannya. Dapat dia rasakan Clara menegang kaget, namun tak berselang lama gadis itu membalas pelukannya.
“Gue lupa belum bilang makasih,” tutur Dewa.
“Buat apa?”
“Makasih udah balas perasaan gue.”
“Hm,” gumam Clara sambil menyerukkan wajahnya di dada bidang Dewa.
Gemas dengan Clara yang menyembunyikan wajahnya dan tampak malu-malu, Dewa terkekeh singkat lantas mengecup puncak kepala gadis itu. Sontak, wajah Clara langsung memanas, apalagi secara tiba-tiba bayang-bayang ciuman saat di rumah sakit melintas di kepalanya.
Kedua remaja yang tengah dimabuk cinta itu tidak sadar kalau ada tiga orang yang menjerit tertahan dan tengah mengintip dari balik gorden di ruang tamu. Mereka adalah orang tua Clara dan Ares.
***
Awas ada yang ngintip:v
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambitious Girl (TAMAT)
أدب المراهقين"Gue dapat dare untuk pacaran sama lo. Cuma satu bulan aja, mau kan?" "Nggak." "Kenapa?" "Gue nggak mau pacaran sama cowok bodoh." *** Clara hanya tahu tiga kata: belajar, belajar, dan belajar. Bagi gadis itu, hidup adalah untuk belajar dan belajar...