Part 1

437 32 33
                                    

Sesosok pemuda berseragam putih abu dilapisi jaket jeans biru tengah mengendap-endap dari arah taman belakang. Dengan sangat hati-hati, dia menengok kanan-kiri, memastikan tidak ada yang mengetahui fakta bahwa dirinya telah terlambat. Mengintip jendela kelas XI IPS 1, helaan napas lega keluar dari bibirnya. Guru yang mengajar jam pertama lagaknya sedikit terlambat.

Kelas yang tadinya ramai seketika hening saat melihat kedatangan pemuda dengan wajah sedatar papan tripleks tersebut. Sang pemuda terus berjalan menuju kursi paling belakang. Situasi ini sudah biasa baginya.

Baru saja hendak melanjutkan tidur yang tertunda akibat disuruh berangkat sekolah dengan tidak selow oleh sang mama, eh guru mata pelajaran Sejarah di kelasnya sudah masuk begitu saja. Masih dengan mata setengah menutup, pemuda bernama Revan itu terpaksa mengurungkan niatnya untuk tidur, bukan karena dia akan menyimak pelajaran dengan baik. Boro-boro menyimak, dia justru melamun memikirkan kasur kesayangannya di rumah.

Tak berapa lama, ada seorang murid yang memanggilnya untuk segera ke ruang BK.

"Revan, segera ke ruang BK ya," ujar Bu Dona mengulangi apa yang disampaikan siswi tadi.

Dengan heran, Revan pun berdiri dan berjalan menuju ruang BK. Perasaan gue belum bikin ulah apa-apa kok hari ini?

"Assalamu'alaikum, permisi, Bu."

"Wa'alaikumussalam, silakan masuk."

Revan pun masuk ke dalam ruang BK dan duduk di salah satu kursi yang disediakan di situ, tepat berseberangan dengan seorang guru wanita asal Batak yang terlihat garang.

"Saya salah apa ya, Bu?" tanyanya, enggan basa-basi.

Bu Butet menyodorkan sebuah ponsel padanya. "Coba kamu lihat ini."

Revan menerimanya, matanya terbelalak sempurna mendapati sebuah video saat dirinya mengendap-endap di koridor tadi.

Sialan! umpatnya dalam hati.

"Jadi kenapa kamu terlambat, Revan?"

Revan meringis. "Kesiangan, Bu."

Tidak ada yang bisa ditutup-tutupi lagi. Toh, dia sudah ketangkap basah. Meskipun beralasan yang lebih bermoral lagi, dia tetap akan mendapat hukuman yang tidak ber-perikemanusiaan sama sekali. SMA Angga Wijaya. SMA swasta terfavorit di Jakarta yang terkenal dengan sistem kedisplinannya, nasib apes bagi Revan karena ayahnya itu memasukkan dia ke sekolah ini.

Dengan tenang, Bu Butet mengangguk. "Sekarang pergi ke lapangan, kamu tau apa yang harus kamu lakukan, Revan."

Revan mengangguk lesu mengiyakan, tidak ada toleransi bagi sebuah ketidakdisiplinan di sekolah ini. Petinggi sekolah ini sudah memberi peringatan bagi para guru untuk menegakkan kedisplinan bagi siapapun siswa di sekolah tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, meski orang tua Revan salah satu donatur, itu tak ada gunanya bagi Revan.

Saat setelah menutup pintu, otak cerdas Revan baru menyadari apa yang telah terjadi. Satu nama ada di pikirannya saat ini. Seseorang yang sedari dulu jadi sosok yang 'sok disiplin' di matanya. Bilangnya sih untuk menegakkan kedisplinan, tapi Revan bahkan hampir muak dengan hal yang terkait dengan kedisplinan. Menurutnya, sangat kaku hidup dalam aturan. Bukankah manusia seharusnya memiliki hak kebebasan kan? Karena itu, dia pun termasuk seseorang yang menganut bahwa aturan ada untuk dilanggar, wkwk.

Revan yang masih bersandar di samping pintu ruang BK sayup-sayup mendengar suara percakapan. "Terima kasih ya, Aleena. Berkat kamu, Revan jadi mendapat hukuman yang sepantasnya."

Revan mendengus mendengarnya.

Senyum sopan tergambar di wajah manisnya. "Sama-sama, Bu. Ya sudah, saya pamit ke kelas dulu ya, Bu."

My Secret Admirer [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang