Part 7

142 16 11
                                    

REVAN berjalan santai memasuki rumahnya. Langkahnya menjadi cepat kala melihat mobil papanya yang sudah beberapa bulan ini pergi keluar negeri terparkir rapi di garasi. Wajahnya berseri-seri, lengkungan lebar terbentuk di bibir tipisnya, terlihat sekali bahwa Revan merindukan papanya itu.

Revan mengernyit saat tak mendapati kedua orang tuanya di ruang tamu. Dia tersenyum saat berpikiran mungkin saja mereka tengah saling melepas rindu di kamar. Sambil bersiul, Revan pun menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Namun, ketika hendak membuka pintu kamarnya, langkahnya terhenti oleh sebuah suara.

Sebentar, Revan menajamkan indra pendengarannya. Dia mendengar suara ringisan dari kamar yang berada di ujung lantai dua, di mana orang tuanya berada. Dengan langkah ragu, Revan berjalan mendekat ke arah ruangan itu. Ringisan itu berubah menjadi isakan. Revan mempercepat langkahnya saat mengenali siapa pemilik suara itu. Itu suara mamanya!

Dia mendorong pintu yang ternyata tidak dikunci. Tubuhnya membeku kala melihat sang mama terduduk tak berdaya dengan bekas tamparan di pipinya. Rahangnya mengeras melihat punggung orang yang menjadi tersangka. Tanpa banyak bicara, Revan berjalan ke arah mamanya.

"Re-revan." Nampaknya, mamanya itu terkejut melihat keberadaan putra semata wayangnya. Dia segera menghapus air matanya dan berusaha berdiri.

Tanpa mau membuang tenaga untuk meminta penjelasan atau menghajar papa kandungnya ini, Revan memilih memapah mamanya yang terlihat amat rapuh.

"Mama bisa sendiri, Revan," tolak mamanya saat dia hendak membantu.

Bukan Revan namanya jika menurut begitu saja. Dia tetap membantu mamanya berjalan. "Kaki mama berdarah."

Mamanya itu terlihat sedikit kaget, sepertinya dia bahkan tak menyadari luka yang ada di tubuhnya.

Revan menatap tajam lelaki yang kini berada di depannya, yang menatapnya dengan tatapan bersalah.

"Tolong pergi dari rumah ini."

"Papa bisa jelasin, Revan."

"Pergi!" sentak Revan membuat kedua orang tuanya membatu.

"Revan, mama nggak pernah ngajarin kamu kasar sama orang tua," ujar mamanya.

"Bukan Mama, tapi orang tua itu yang ngajarin aku gimana caranya bersikap kasar. Bukannya adanya orang tua untuk dicontoh anaknya, Ma?"

Mama Revan terdiam. Dia tak bisa berbuat apa-apa saat anaknya tengah mode macan seperti ini. Bahkan suaminya itu tak bisa berkutik melihat anaknya yang sama kerasnya bahkan mungkin lebih keras dari dirinya.

"Bisa Mama jelasin apa yang terjadi?" tanya Revan setelah selesei membalut luka di kaki mamanya yang cukup lebar.

Dinda-Mama Revan terdiam. Matanya menerawang jauh sebelum bibirnya meluncurkan fakta yang membuat Revan lemas seketika.

***

Revan memutuskan pergi dari rumah setelah mendengar sebuah fakta menyakitkan yang dilontarkan dari bibir sang mama. Dan di sinilah dia, di depan kompleks rumah Aleena. Revan sendiri heran, kenapa dia justru terdampar di tempat ini? Pasalnya, tadi dia hanya asal mengendarai motor tanpa tujuan dan berakhir melamun menatapi pagar rumah Aleena yang tertutup. Matanya melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, masih jam 8 malam. Apakah Aleena sudah tidur?

"Revan?"

Sebuah suara membuat Revan menoleh ke samping kanannya. Tak jauh dari tempatnya, berdiri seorang gadis dengan kaos putih polos dan celana pendek-khas pakaian rumahan, yang sedang menenteng sebungkus plastik putih di tangan kanannya. Revan menyipitkan matanya, dia nampak mengenal gadis itu. Dan, ya! Gadis itu adalah orang yang selalu bersama Aleena. Kalau tidak salah namanya Tere.

My Secret Admirer [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang