"REVAN, lo mau ngajak gue ke mana sih? Gue takut jatuh nih!" ujar Aleena sembari memegang lengan Revan erat. Pasalnya, saat ini kedua matanya ditutup oleh kedua tangan Revan.
"Bentar lagi sampai kok."
Setelah lima langkah, Revan berhenti yang membuat Aleena turut berhenti.
"Nah, sampai," tutur Revan. "bentar ... oke, sekarang lo bisa buka."
Aleena mengerjap sebentar, menyesuaikan pandangan yang buram karena terlalu lama tertutup.
"Na," panggil Revan.
Aleena menunduk, melihat ke bawah yang ternyata Revan sedang berjongkok. Dia menutup mulutnya, bukan terharu, tapi pengen ngakak!
"Sejak pertama ketemu sama kamu, aku udah tahu kalau kamu berbeda. Kamu satu-satunya cewek yang enggak takut berurusan sama aku meski seantero sekolah udah tahu kalau aku cuma tukang biang onar. Meski kamu juga cewek paling enggak peka yang pernah aku temui, tapi kamu cewek terkuat yang pernah aku kenal.
Aku tau, Na. Di balik tawa ceriamu, ada rasa sepi yang mengakar dalam hatimu. Aku juga tau, meski kelihatan kuat, kamu juga rapuh, Na. Kamu punya segala hal yang buat aku cinta sama kamu.
Seiring berjalannya waktu, aku nggak bisa nahan perasaanku lagi. Aleena Seviala, aku sayang dan cinta sama kamu. Kamu mau kan jadi pacarku?"
Namun, respon Aleena berhasil membuat Revan cemberut, kesal. Pasalnya, gadis yang baru saja membuat seorang Revan untuk pertama kali berlutut selain kepada mamanya dan berjam-jam menghapal teks 'penembakan', justru menertawakannya! Respon macam apa itu?
"Revan, Revan. Mana ada sih cowo nembak pake setablet promag?"
Revan berdiri. "Ya kan ini lebih berguna secara lo susah makan padahal udah tau punya magh, daripada gue kasih lo bunga plastik atau coklat."
Tawa Aleena masih nyaring. "Kocak lo ah! Emang langka banget cowok kayak lo ya."
Revan menepuk dadanya bangga. "Iya dong!" Sedetik kemudian dia memasang ekspresi serius bercampur harap. "Jadi gimana, Na?"
Aleena berjalan ke arah kursi yang sudah disediakan Revan. Lokasinya, sama sebenernya, taman kompleks perumahannya. Hanya saja, Revan telah memodifikasinya sedikit. Ingat, hanya sedikit.
Revan pun mengikutinya, duduk tepat di depan Aleena.
Aleena tersenyum. Dia menggenggam tangan Revan erat. "Sebelumnya boleh gue tau kenapa lo jadiin Alex alasan lo jadi secret admirer gue?"
Raut wajah Revan yang penuh pengharapan berubah menjadi datar. "Gue kenal Alex dari kecil, Na. Gue hafal sifatnya. Dia dendam sama gue. Dan pastinya dia nggak bakal biarin gue semudah itu dapetin cewek yang gue suka. Emang rada gila sih, gue berasa kayak psikopat yang stalkerin lo tiap hari. Tapi itu juga buat ngelindungin lo dari dia. Tapi, gue sempet lupa kalau Alex juga nggak sebentar kenal sama gue."
Tatapan Revan beralih pada gadis di depannya. "Terbukti kan, gue hampir kalah start dan lo bahkan belain dia pas itu."
Rasa bersalah kembali menerjang sudut hati Aleena. "Maaf, bukan maksud gue belain dia. Tapi-"
"Iya, gue tau. Lo nggak suka cara gue nyelesein masalah. Tapi lo harus inget kalau setiap orang punya caranya sendiri, Na."
Melihat gadis di depannya yang semakin menunduk, Revan menghela napas pelan dan mencondongkan tubuhnya untuk menarik dagu Aleena agar menatapnya.
"Udah lupain tentang cowok keparat itu. Sekarang pikirin tentang kita aja. Jadi apa jawaban kamu?" tanyanya dengan lembut.
Meski Aleena kini menatapnya, tapi raut wajahnya tak berubah sama sekali. Tak ada rona merah seperti gadis pada umumnya. Matanya justru menyiratkan kesedihan dan rasa bersalah yang dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Admirer [LENGKAP]
Teen FictionHanya sebuah cerita yang mengangkat kisah utama mengenai seorang gadis cantik yang memiliki secret admirer. Dihiasi oleh kisah masing-masing tokoh yang sama-sama mencari rumah untuk pulang setelah kehilangan rumah utamanya, sebuah sisi gelap dari sa...