Part 9

145 17 9
                                    

"REVAN, mama masuk yah."

Tanpa mengalihkan pandangannya dari game di ponselnya, Revan menjawab singkat, "Iya, Ma. Masuk aja!"

Dinda pun masuk ke kamar anak semata wayangnya itu. Dia tersenyum sendu melihat Revan yang selalu saja bersikap seolah semua baik-baik saja. Padahal, dia tahu betul bahwa anaknya itu pun pasti jauh terluka daripada dirinya.

Mengambil tempat di samping anaknya, Dinda merangkul bahu Revan dan mengelus surai rambutnya. Revan yang mendapat perlakuan begitu lembut dari sang mama pun memutuskan menghentikan permainannya.

"Ada apa, Ma?"

Dia tidak sebodoh itu untuk mengetahui bahwa mamanya jauh lebih tidak baik-baik saja daripada kemarin.

"Papa ...."

"Ngomong aja, Mah. Nggak papa," ujar Revan meyakinkan mamanya.

"Papa tadi ngirim surat cerai, Revan," ujar mamanya dengan nada bergetar.

Tangan Reval mengepal, rahangnya mengeras, dia marah. Marah kepada papanya, pada dirinya, dan pada kenyataan yang begitu menyesakkan.

Revan membawa mamanya untuk bersandar di dadanya, dia mengelus punggung mamanya yang mulai terisak. Dia tak peduli kaosnya basah, asal mamanya bisa meluapkan segala sakit hatinya. Dia bahkan rela mengotori tangannya untuk melukai ayah kandungnya itu jika mamanya mengizinkan, sayangnya itu tidak akan. Mamanya ini jatuh terlalu dalam hanya untuk pria tua brengsek itu.

Lama kelamaan, isakan mamanya mereda. Revan bergeser dan menidurkan mamanya di ranjang miliknya. Saking terlalu lelahnya, mama yang memang memiliki anemia, gampang sekali tumbang.

Setelah menyelimuti tubuh mamanya, Revan mengambil kunci motor di atas nakas dan memutuskan mencari angin di luar. Terlalu banyak kenangan indah yang tidak ingin Revan ingat di rumah ini. Kenangan indah yang penuh kepalsuan, untuk apa diingat?

Dia pun mengendarai motornya dengan kecepatan penuh, hingga netranya menangkap kehadiran Aleena dan Alex yang sedang berboncengan motor. Sejenak, netranya bersitatap dengan mata bulat Aleena sebelum sedetik kemudian dia mengalihkan pandangannya dan semakin menambah kecepatan motornya, berlalu dari pemandangan yang justru semakin menambah buruk mood-nya.

***

Hari masih pagi, tetapi Sabtu merupakan hari libur bagi sekolahnya. Biasanya, Revan akan menghabiskan waktunya untuk bermain game seharian di rumah seperti tadi. Namun, detik ini, untuk pertama kalinya, Revan menjejakkan kakinya di GOR sekolah pada hari libur! Sungguh keajaiban bukan?

Dengan sangat percaya diri, Revan menuju lapangan basket yang berada di dalam GOR. Dia mulai bermain basket tanpa menghiraukan segelintir orang yang nampaknya tertarik melihat permainannya. Dalam pikirannya, dia hanya butuh pelampiasan.

Di dalam situ, Revan menjadi pusat perhatian. Pasalnya, hanya dia yang berada di GOR dengan pakaian kaos dan jeans, tidak umum untuk orang yang hendak berolahraga. Sekali lagi, Revan tak peduli meski kaosnya mulai basah oleh keringat dan ototnya sudah berkontraksi hebat, dia tak berniat menghentikan permainan solonya.

"Revan!"

Sebuah suara masuk ke indra pendengarannya. Revan menoleh dan mendapati Tere yang sedang berlari ke arahnya.

"Lo gila ya?!"

Revan mengernyit, masih diam sembari mengatur napasnya.

"Jangan nyiksa diri lo sendiri, lo udah hampir main sendirian sejam di sini."

Apakah sudah selama itu? Dia tidak sadar waktu secepat ini berlalu.

"Nih, minum."

Revan menerima botol air dingin yang disodorkan Tere, lagipula tenggorokannya memang sudah kering.

My Secret Admirer [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang