KERNYITAN di dahinya semakin bertambah. Aleena hanya berharap, semoga dia tidak cepat keriput. Tak habis pikir, kemarin Alex, dan sekarang Beby juga mengajaknya bertemu?
Untuk ketiga kalinya, Aleena merasa de javu.
"Udah nunggu lama?" ujar Beby yang sekarang sudah duduk di sampingnya.
Aleena memandang Alex yang tersenyum dari kejauhan, hanya mengawasi, tapi tetap memberikan privasi.
"Aleena, gue minta maaf," ujar Beby to the point.
Matanya menangkap binar bersalah di mata sipit itu.
"Seperti yang mungkin udah lo denger. Gue punya alter-ego. Ada trauma, yang buat kondisi gue jadi gitu, dan maaf, nggak bisa gue ceritain ke lo."
Dia mengangguk mengiyakan, membiarkan Beby melanjutkan ucapannya.
"Dari dulu, Revan sering nyaranin gue buat konsul ke psikolog. Tapi gue selalu nolak dengan berkilah kalo gue itu nggak sakit!"
Matanya menerawang. "Gue ... udah nyakitin dia terlalu dalam, Na. Gue tahu, dulu Revan suka sama gue, tapi gue manfaatin itu untuk buat Alex cemburu dan nyatanya cowok tengil itu nggak pernah peka sama perasaan gue." Matanya melirik Alex dengan bibir yang tertawa kecil.
"Puncaknya ya itu, pas kenaikan kelas 11, gue berbuat kesalahan fatal. Gue selingkuhin Revan dan itu buat Revan pergi ke luar negeri, menghilang selama setahun sebelum kembali lagi ke sini. Gue juga nggak tau otak gue ke mana sampe nekat selingkuhin dia. Padahal dia juga udah tersiksa pacaran sama gue yang notabenenya suka sama sahabatnya sendiri, dan dia tau itu."
Pengakuan Beby membuat hatinya kembali sesak. Hal ini, sama seperti yang Revan katakan saat itu, saat terakhir dia melihat cowok tengil itu dan mengecewakannya.
"Tapi ... egoisnya gue, gue nggak mau ngelepasin dia apalagi setelah dia balik ke sini, Na. Gue tetep ngaku sebagai pacarnya ke semua orang. Lo tahu karena apa? Karena rasa bersalah yang bersarang dalam hati gue serasa mau bunuh gue secara perlahan! Gue berkali-kali coba yakinin dia kalau gue mau berusaha cinta sama dia, tapi ternyata semua udah terlambat, Na. Hati Revan udah sepenuhnya tertutup buat gue. Yang ada di hatinya, cuma lo. Cewek yang bahkan belum lama dia kenal."
Tangan Aleena mengusap punggung perempuan di sebelahnya yang mulai menitikkan air mata.
"Gue bingung, gue takut, gue kalut, Na! Sampai akhirnya gue nggak bisa ngendaliin sisi gelap diri gue. Dan ending-nya, gue bikin Revan makin benci sama gue."
Beby mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Gue bersyukur banget Alex masih dan selalu ada di samping gue, ending kisah cinta gue ternyata nggak seburuk itu."
Sebelum pergi, Beby memeluk Aleena singkat sembari mengucapkan kalimat, "gue harap, ending kisah lo sama Revan juga happy ya."
Bibirnya melengkung, membalas senyum sendu Beby yang mulai menjauh darinya. Tangannya terangkat, membalas lambaian Alex yang ditujukan padanya.
Dua kesaksian membuat Aleena semakin meradang. Revan, lelaki itu belum juga muncul atau sekadar memberi kabar. Dengan mantap, dia telah memutuskan bahwa hari ini dia akan pergi ke alamat yang pernah Alex berikan. Semoga saja Revan ada di sana.
***
Apakah Alex tidak salah memberikan alamat?
Pasalnya, bangunan di depannya sudah tidak layak disebut rumah. Jikapun iya, lebih layak disebut rumah berhantu. Bagaimana tidak? Temboknya sudah dipenuhi lumut, rumput tumbuh liar di sekelilingnya, bahkan pagarnya pun sudah karatan.
Aleena ragu untuk memasukinya, tapi pandangannya menubruk sebuah motor besar di samping rumah itu saat dia melongok lebih dalam. Dia kenal betul siapa pemilik motor itu. Lengkungan terlukis di bibirnya, semangatnya melambung tinggi, kakinya dengan cepat melangkah ke arah pintu depan, tetapi saat dia hendak membuka pintunya, telinganya menangkap suara dua orang yang sangat familiar.
Aleena segera memutar arah dan berdiri di samping tembok. Tidak ada waktu untuk pergi dari sana jika tak ingin ketahuan.
Matanya mengintip, mencari sumber suara itu, dan dia terbelalak setelahnya. Revan dan ... Tere. Bagaimana bisa? Tere bilang padanya bahwa dia ada acara tanding karate! Tapi kenapa dia sekarang ada di sini? Berdua? Bersama Revan? Apa yang telah mereka lakukan?
Aleena tak bisa mendengar jelas percakapan mereka berdua karena jaraknya cukup jauh dari tempatnya berada. Tapi yang pasti, air sudah menggenang di pelupuk matanya, sebisa mungkin dia menahannya, tak dipungkiri hatinya terluka begitu hebat dengan segala persepsi yang ada di kepalanya.
Mengendap-endap, Aleena melangkah keluar dari persembunyiannya dan berusaha menggapai pagar tanpa menyembunyikan suara sedikit pun.
"Aleena?"
Deg. Hatinya bergetar saat mendengar suara yang cukup pelan sampai di telinganya. Hei, itu suara yang belakangan ini dirindukannya! Air matanya tak bisa tertahan, dia pun berjalan cepat setelah mengusap kasar air matanya.
Revan panik, Aleena pasti salah paham! Saking paniknya, Revan tak menyadari Tere yang menampilkan ekspresi biasa saja.
"Aleena, tunggu!"
Aleena segera berlari, tak peduli pada Revan yang mengejarnya. Jalan cukup lengang, karena memang rumah ini berada di wilayah yang jarang sekali ada pemukiman. Aleena saja sampai jalan kaki dari jalan raya untuk mencapai ke alamat ini setelah turun dari taksinya, dan usahanya dihadiahi pemandangan yang sangat menyakitkan!
Tubuhnya terdiam kaku saat Revan berhasil meraih tangannya. "Gue ... bisa ... jelasin ...," ujarnya sembari mengatur napasnya.
Aleena hanya diam dengan air mata yang mengalir. Bibir bergetarnya menyahut. "Gue benci sama lo."
Kini, giliran Revan yang membatu. Aleena pun menyentak kasar cekalan Revan yang mengendur, dan berlari secepat yang dia bisa, kemudian menyetop taksi yang kebetulan lewat di depannya dan pulang ke rumah dengan derai air mata. Dia tak percaya tentang apa yang dilihatnya!
Kenapa harus sahabatnya?
Pak Sopir yang melihat penumpangnya menangis histeris ikutan panik. "Neng, nangisnya jangan keras-keras. Nanti dikira saya mau nyulik Eneng lagi!"
_________Bau-bau mau tamat nih😂
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Admirer [LENGKAP]
Teen FictionHanya sebuah cerita yang mengangkat kisah utama mengenai seorang gadis cantik yang memiliki secret admirer. Dihiasi oleh kisah masing-masing tokoh yang sama-sama mencari rumah untuk pulang setelah kehilangan rumah utamanya, sebuah sisi gelap dari sa...