Part 12

143 13 7
                                    

PAGI ini, tidak seperti biasanya. Aleena duduk sendirian karena Tere pindah tempat duduk. Dia tak kuasa hanya sekedar untuk mencegah Tere agar tetap di sisinya. Kelas hari ini pun 80% dihabiskan oleh Aleena untuk melamun, beruntung sang guru tak memberi pertanyaan tiba-tiba kepadanya. Sebenarnya, apa salahnya hingga sahabatnya itu murka sedemikian besar padanya?

***

Waktu istirahat tiba begitu saja. Dengan raga yang seolah tanpa nyawa, Aleena menyusuri koridor sekolah menuju kantin. Sebenarnya dia ingin menetap di kelas saja, tapi perutnya sudah mulai melilit akibat dia melupakan acara sarapannya. Lagi pula, apa enaknya sarapan jika dilakukan sendirian? Hambar.

Tiba-tiba, ada yang menabrak bahunya. Aleena melirik kesal pada sang pelaku.

"M-maaf, Kak."

Matanya menelisik lelaki di depannya. Lelaki dengan kancing paling atas ditutup, kaca mata tebal yang menutupi hidung mancungnya, serta arah pandang mata yang selalu menunduk. Dia sudah bisa tebak, lelaki di depannya ini adalah adik kelasnya.

"Iya, tidak apa. Lain kali, hati-hati ya."

Menanggapi ucapan perempuan di depannya, lelaki itu mengangguk cepat dan berlalu dari hadapan Aleena setelah menggumamkan kata "Terima kasih, Kak."

Aleena pun meneruskan perjalanannya. Dia menggeram kesal, karena baru saja dia tenang, sekarang ada lagi yang menabrak dirinya bahkan hingga dia terjatuh!

"Siapa-"

Luapan amarahnya menghilang begitu saja saat melihat pelakunya adalah kakak kelas yang pernah menginterogasinya.

"Apa? Sakit?" tanya Beby ketus.

Aleena masih diam, tak berniat menjawab barang sepatah kata pun.

"Mana pengawal lo yang selalu ada di samping lo kapan pun dan di mana pun itu?"

Tangan Aleena mengepal, siapa pun boleh menghina dirinya, menginjak-nginjak namanya, tapi tidak dengan sahabatnya! Dia berdiri dengan mata nyalang, menatap perempuan songong di depannya.

"Apa maksud, Kakak?" tanyanya dengan penuh penekanan.

"Ya itu, cewek songong yang ke mana-mana selalu sama lo!"

Tangannya mendarat mulus di pipi kakak kelas di depannya yang membuat Beby melotot tak percaya. Seorang adik kelas telah menamparnya! Catat itu.

Bibirnya menyeringai. "Beraninya, lo nampar gue?"

Dagu Aleena terangkat. "Iya! Kenapa? Sakit?"

Pertanyaan dengan nada meremehkan itu berhasil menyulut emosi Beby.

"Gue kasih tau ya, Kak. Tere, dia bukan pengawal gue. Dia sahabat gue. Cuma dia yang selalu ada buat gue. Dia bahkan lebih berharga dari diri gue sendiri. Jadi, jangan pernah bicara hal yang nggak semestinya tentang dia."

"Halah, bacot lo!" umpat Beby seraya meraih bagian belakang rambut Aleena dan menjambaknya. Ringisan kesakitan keluar dari bibirnya, tapi dia sama sekali tidak ingin membalasnya. Tamparannya tadi rasanya sudah cukup untuk membalas ucapan merendahkan kakak kelas di depannya.

Beby dengan membabi buta terus menarik rambut Aleena bahkan sampai rontok di tangannya. Aleena pun memilih memejamkan mata. Sensasi sakit di kepalanya dan perut yang melilit menguasai tubuhnya. Dia bahkan tak peduli fakta bahwa sekarang mereka menjadi tontonan masa.

My Secret Admirer [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang