Part 14

150 11 11
                                    

TERE mengambil slingbag-nya dan melangkah cepat ke garasi. Dia mengendarai motor dengan tidak selow, seolah setiap detik yang dimiliki akan membawanya ke pintu kematian. Memang benar, rasa bersalah yang menumpuk dalam dada berhasil membuatnya sesak.

Sampai di tempat yang dituju, Tere berlari dengan tergesa dan mencari ruangan yang dimaksud Revan.

"Aleena!" teriak Tere tanpa melihat situasi ruangan.

Aleena yang baru saja terlelap sontak terbangun karena kaget. "Tere?" Tangannya menepuk-nepuk pipinya sendiri. "Gue enggak mimpi kan?"

Tere mendekati Aleena tanpa menghiraukan Revan yang mengumpat dan menatapnya tajam karena telah mengganggu istirahatnya Aleena.

"Maaf," cicit Tere.

"Minta maafnya yang bener dong," celetuk Revan sebelum keluar ruangan, membiarkan sepasang sahabat itu menyeleseikan masalahnya meski telinganya tetap dibiarkan menempel ke pintu. Revan tak tahan ingin menguping!

"Gue minta maaf, Al. Lo mau maafin gue kan?"

Melihat mata Tere yang berkaca-kaca, Aleena tersenyum. "Sebelum lo minta maaf, gue udah maafin lo kok."

Tere menghambur memeluk Aleena dengan isakannya yang semakin keras. Setelah dirasa cukup tenang. Aleena berujar, "Sekarang, bisa lo jelasin kenapa lo tiba-tiba meledak kayak bom Israel?"

Tere tertawa, sembari menyeka sudut matanya dan mulai menceritakan semuanya. Berawal dari Revan yang mengaku sebagai secret admirer Aleena, rasa iri Tere yang tak bisa lagi dibendung, dan rasa lelah Tere karena terus menerus berusaha menulikan pendengaran serta membutakan penglihatan atas omongan dan tatapan orang-orang yang selalu sinis saat dia bersama Aleena, bahkan menggosipkan secara diam-diam tentang asumsi bahwa dia hanya numpang tenar atau bahkan jadi pengawal Aleena yang bagai Tuan Putri.

"Maafin gue ya. Gue dibutakan oleh rasa iri sampai gue lupa kalau lo itu sahabat terbaik gue dan cuma lo yang selalu ada buat gue."

Aleena terdiam. Fakta yang telah Tere ungkapkan cukup mengejutkan. Aleena kira, sikap Tere yang selalu memakai earphone ke mana-mana sejak pertengahan kelas 10 itu memang karena Tere biasa cuek dan tak mau tahu terhadap sekitarnya. Ternyata, Tere hanya tidak ingin mendengar semua gosip buruk di belakangnya.

"Gue yang harusnya minta maaf, Tere. Maafin gue ya, gue nggak pernah bisa buat peka."

Tere tersenyum haru. "Kita sama-sama salah deh!" Mereka tertawa bersama. "Jadi, kita baikan ya?" tanya Tere seraya menyodorkan jari kelingkingnya dan disambut Aleena dengan senang hati.

"Jadi, Revan secret admirer gue?" tanya Aleena, memastikan. Pasalnya, dia sedari tadi menahan diri untuk menanyakan hal itu.

"Ya, itu gue." Revan tiba-tiba masuk dan menyela.

Aleena terperangah mendengar pengakuan pemuda di depannya.

"Lo bercanda kan?"

Senyum hangat dari lawan bicaranya justru menambah getaran takut di hatinya. "Gue jadi secret admirer lo, karena ada suatu alasan. Dan gue nggak segila itu untuk jadi psycho bagi orang yang gue suka. Jadi, jangan takut."

Suasana yang tiba-tiba sedikit mencekam itu teralihkan oleh celetukan seseorang.

"Ada apa nih pada tegang banget?"

Urat tegang Aleena seketika mengendur kala mendapati mamanya telah membuka mata.

"Mama udah sadar?"

Resti tersenyum melihat reaksi anaknya. "Papa juga loh."

My Secret Admirer [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang