MATA sembab, rambut diikat asal-asalan, pakaian tak tahu aturan, itulah deskripsi Aleena sekarang. Dan dalam keadaanya seperti itu, siapa pula yang mau bertamu sepagi ini?!
Setelah gosok gigi dan cuci muka seadanya, Aleena turun, menanggapi bel yang terus dipencet brutal, dia pun berteriak, "Sebentar!!" sambil terus ngedumel, "kenapa pula mama papa nginep di rumah nenek kakek yang ada di kompleks sebelah? Huh!"
Sedikit mempercepat langkah, dia pun membuka pintu. Matanya hampir keluar melihat pemandangan Revan yang sudah rapi di depannya. Revan senekat itu sampai memanjat pagar rumahnya? Astaga! Tangan Aleena refleks hendak menutup pintu, tetapi sepatu Revan menghalanginya.
Dengan mata penuh harap, dia memohon, "Please, Na. Izinin gue jelasin semuanya."
Aleena terus bersikeras dengan air mata yang sudah mengalir begitu saja di pipinya. Revan yang tak kuat melihat Aleena begitu rapuh dengan segala persepsinya, memilih mendorong kuat pintu rumah tersebut dan menangkap Aleena yang hendak terjatuh. Dia menenggelamkan Aleena ke dalam pelukannya.
Dalam isakannya, Aleena berkata, "Lo ngilang gitu aja, ninggalin gue dalam rasa bersalah setelah mengetahui semua faktanya. Lo jahat, Van!"
Tangannya menghantam dada Revan brutal. Revan pun membiarkannya, sembari mengeratkan pelukannya. Meski sedikit kaget dengan ucapan yang keluar dari bibir Aleena, dia tak berniat menyela. Apa Tere tak menyampaikan suratnya pada Aleena? Bangsat! umpatnya dalam hati.
"Gue ... gue nungguin lo, nunggu kabar dari lo, tapi lo nggak ngabarin gue sama sekali. Dan pas gue beraniin nyamperin lo, lo malah lagi berduaan sama sahabat gue di rumah kosong! Gimana gue nggak sakit, Van?" lirihnya.
Hati Revan ikut sakit mendengar gadisnya menangis, terlebih itu karenanya. Tangannya mengelus punggung Aleena yang ditutupi baju tidur bermotif hello kitty itu.
Setelah tangisnya agak mereda. Revan menuntun Aleena untuk duduk di kursi yang ada di teras rumah. "Sekarang bisa gue jelasin semuanya?"
Masih enggan menatap Revan, Aleena mengangguk. Revan tersenyum maklum, Aleena dengan ekspresi cemburu dan marah di depannya ini terlihat jauh lebih menggemaskan. Sebelum melanjutkan dia menyempatkan mengacak-acak rambut Aleena hingga semakin berantakan tetapi tetap terlihat cantik di matanya.
"Pertama, gu-eh aku minta maaf. Aku nggak bermaksud untuk nggak ngehubungin kamu, tapi aku emang butuh waktu sendiri buat nenangin diri dan aku juga udah titip surat ke Tere, aku rasa itu cukup."
Saat Aleena hendak menyela, Revan mengangkat tangannya, agar Aleena diam terlebih dahulu.
"Kedua, aku sama Tere nggak ada apa-apa. Tadi, pas aku mau ke rumah almarhumah nenek, aku lihat Tere lagi dikeroyokin sama lima preman di jalan yang sepi dan kelihatan kewalahan. Aku bantuin deh, dan setelah kita menang, Tere mau ikut. Aku nggak bisa ngelarang, lagi pula, dia bilangnya cuma sebentar. Aku juga tadi sebenarnya cuma mau nganter Tere ke depan."
Revan menggenggam kedua tangan Aleena dan membawanya ke meja yang menjadi pembatas mereka berdua. "Serius, Al. Aku nggak ngapa-ngapain."
"Bener apa yang dijelasin sama Revan, Aleena."
Celetukan seseorang membuat keduanya menoleh kepada sumber suara. Tere dengan kaos putih dan celana pendek sedang berdiri di depan pagar rumahnya. Aleena mengernyit saat melihat seorang lelaki-entah siapa-ada di belakang Tere.
"Al," panggil Tere.
Revan menyentuh punggung tangan Aleena dan mengisyaratkan dengan matanya agar Aleena mendekat ke arah Tere.
Meski masih agak sakit hati, Aleena tetap membesarkan hatinya. Dia pun mendekati Tere, membuka pagarnya. Meski dia berani mendekati Tere, tapi dia sama sekali tak berani menatap mata sahabatnya itu. Dia takut, takut jika air matanya akan mengalir begitu saja.
"Al, gue minta maaf," ujar Tere. "Maaf karena gue egois, maaf karena gue ngelakuin kesalahan lagi untuk kedua kalinya. Maaf, karena gue justru suka sama cowo yang sama kayak lo."
Aleena membulatkan matanya. "Lo suka sama ... Revan?"
Tere tersenyum. "Ya, gue suka sama dia. Tapi untungnya, gue belum jatuh cinta sama cowok rese itu."
Revan sendiri terkejut di tempatnya mendengar pengakuan Tere. "Gue nggak maksa lo buat maafin gue-"
"Gue berapa kali bilang, Tere? Sebelum lo minta maaf, gue udah maafin lo. Karena ... cuma lo yang selalu ada di sisi gue. Cuma lo yang bisa jadi ... sahabat gue."
Tere memeluk Aleena. Dia terisak. "Kenapa gue bisa lupa kalo lo berhati malaikat, Al?"
Aleena tersenyum, ia turut terisak sembari menepuk punggung Tere.
Setelah sama-sama tenang, Tere menatap Aleena dalam sembari menggenggam tangannya erat. "Mungkin terlambat, tapi apa yang seharusnya jadi milik lo harus ada di lo. Ini, surat yang Revan titipin ke gue waktu itu."
Aleena melirik sebuah surat di tangannya. Dia tersenyum setelah menyimpan kertas itu di saku bajunya. "Maka-"
Ucapannya terhenti kala telunjuk Tere berada di depan bibirnya. "Jangan bilang kata itu, Na. Gue nggak ngapa-ngapain. Gue cuma ngelakuin apa yang seharusnya gue lakuin dari dulu. Sekali lagi, gue minta maaf ya, Na."
Aleena tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca lagi. Lantas, dia kembali memeluk sahabatnya ini. "Gue sayang sama lo, Re."
Tere menepuk punggung sahabatnya ini. "Gue juga."
Interaksi mereka membuat kedua lelaki yang menonton di sana tersenyum haru bahkan hampir menitikkan air mata.
Tak berapa lama, Tere izin pamit untuk mengantar cowok yang belum Tere jelaskan identitasnya itu dan justru menjawab enteng, "Nanti gue ceritain." kembalilah dia berdua bersama Revan di depan rumah.
"Kok lo nggak bilang kalo Tere suka sama lo?"
Revan mengangkat bahu. "Gue nggak tahu."
"Halah. Alesan."
"Serius, Aleena. Cemburu ya?" Sengaja Revan menggoda Aleena agar gadis itu mengakui perasaannya meski dia sudah tahu jawabannya.
Aleena mencebik. "Emang gue berhak? Lagi pula gue bukan siapa-siapa lo kan?" ujarnya tanpa menatap Revan.
Revan mengulum senyum. "Kode keras nih?" godanya sambil menaikturunkan alisnya.
Pipi Aleena seketika bersemu, membuat Revan tak tahan untuk tidak mencubitnya. "Gemes banget sih!"
"Ih, Revan! Pipi aku melar nih," cetusnya kesal sembari mengelus pipinya.
Revan terkekeh. "Jalan yuk!"
Mata Aleena membola. "Lihat ini jam berapa bambang!"
Revan meringis saat memandang jam tangan di pergelangan kirinya. "Jam setengah enam?"
"Gue belum mandi, Revan. Lo ganggu tidur gue aja, padahal gue tidur baru jam dua pagi!" pekik Aleena.
"Gara-gara gue ya?" goda Revan lagi.
"Lo kok manisnya cuma pas minta maaf doang sih! Sekarang nyebelin lagi!" Aleena berujar sembari berdiri dan mengentak-entakkan kakinya menuju pintu rumah.
"Eh, eh lo mau ngapain?" tanya Aleena saat Revan hendak masuk ke dalam rumahnya.
"Mau numpang sarapanlah."
Aleena menggeleng tegas. "Mama Papa lagi nggak ada di rumah. Lo pulang dulu aja ya."
Revan tersenyum sebelum memasang tampang sok sedihnya. "Ngusir nih ceritanya?"
Aleena gelagapan. "Bukan! Bukan gitu, Revan. Aduh, gimana ya." Bingung sendiri, Aleena menggigit bibir bawahnya.
Tangan Revan mengusap rambut Aleena dan merapikannya. "Gue ngerti. Nanti sore gue jemput ya. Jam empat."
Saat Aleena hendak bersuara, Revan mendahuluinya. "Nggak ada bantahan."
Bibir Aleena pun terkatup rapat. Dia mendelik kesal. "Ya udah sana pergi!" ketusnya sembari menutup pintu keras.
Revan terkekeh melihat tindakan Aleena. Aleena sendiri sedang memegang dadanya yang berdetak sangat kencang. Bibirnya tersenyum lebar. Ya, Tuhan. Revan manis banget!
__________Semoga suka♡
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Admirer [LENGKAP]
Teen FictionHanya sebuah cerita yang mengangkat kisah utama mengenai seorang gadis cantik yang memiliki secret admirer. Dihiasi oleh kisah masing-masing tokoh yang sama-sama mencari rumah untuk pulang setelah kehilangan rumah utamanya, sebuah sisi gelap dari sa...