Bab XIII

1.9K 164 8
                                    

Hari ini adalah hari di mana Rafa benar-benar malas untuk bertugas. Jika biasanya dirinya sangat-sangat antusias jika di suruh bekerja, laki-laki itu kini malah sibuk merecoki anaknya yang sedang memakai baju.

"Wangi banget anak Papa!" Rafa mengambil dot yang berada di mulut anaknya membuat bayi kecil itu menangis.

"Rafa! Nggak usah aneh-aneh! Kalo mau berangkat cepetan berangkat. Nanti macet, telat lagi." Aretha kini sudah kembali menjalankan aktivitasnya walaupun terkadang wanita itu sering melamun. "Ambilin bedongnya, Papa!"

Tanpa melepaskan pandangannya dari anaknya, Rafa langsung mengambil bedong tersebut dan menyerahkannya ke Aretha. "Kok yang ini! Ini punyanya Khalisa. Kayaknya lupa belum aku simpen."

Rafa langsung bergegas menukar bedong tersebut daripada istrinya kembali teringat pada buah hati mereka yang telah tiada. "Nih!"

"Di bedong, ya. Biar nggak bisa gerak."

"Nggak kasian kamu. Udah kayak kepompong itu," ucap Rafa sambil tertawa. "Susunya Altas Papa ambil, nih!"

Bayi kecil itu mengerjapkan matanya ketika botol susunya kembali diambil oleh ayahnya.

"Kamu kapan berangkat sih, Raf? Daritadi ditunda mulu. Macet nanti."

Rafa mencium pipi Aretha kemudian memeluk wanita itu dari belakang. "Jangan sedih selama aku nggak ada, ya. Nggak usah lakuin hal-hal yang berat-berat. Jahitan kamu masih basah, nanti kenapa-napa lagi."

"Udah seminggu juga," jawab Aretha sambil melepaskan lilitan tangan Rafa yang sangat mencekiknya.

"Nggak usah ngeyel!" jawab Rafa sambil menarik pipi Aretha dengan sangat keras. "Mama nanti ke sini?"

"Sakit!" Aretha menepis tangan suaminya ketika pipinya terasa panas. "Tiap hari juga ke sini. Kamu aja yang nggak pernah keluar kamar."

"Masih haus, ya?" tanya Aretha sambil mencium pipi Altas dengan gemas. "Anterin Papa dulu, ya. Biar cepetan berangkat."

Rafa mencium pipi Altas, kemudian langsung mengambil koper yang sudah Aretha siapkan sejak semalam.

"Papa berangkat, ya."

Altas membuka matanya, kemudian mata bayi tersebut berkaca-kaca. "Loh? Kok nangis?" Aretha tertawa ketika melihat tangis anaknya yang kian mengeras ketika Rafa meletakkan kopernya di bagasi mobil.

Rafa berlari kecil ke arah Aretha kemudian mencium anaknya sekali lagi. "Papa mau kerja. Biar bisa beli baju buat Altas, ya."

Aretha benar-benar dibuat tertawa melihat drama dari keduanya itu. Meskipun tangisan anaknya sudah mereda, tetapi bibir bayi itu masih bergetar—seolah melarang ayahnya agar tak pergi.

"Aku berangkat, ya." Rafa mencium kening Aretha yang dibalas anggukan kepala oleh Aretha. "Anak Papa jadi anak baik, ya. Jangan rewel, kasihan Mama nanti."

"Hati-hati, ya, Raf. Kasih kabar kalo udah sampe."

Rafa menganggukkan kepalanya kemudian langsung memasuki mobil. Aretha terus melambaikan tangannya ke arah Rafa hingga mobil yang suaminya tumpangi menghilang dari pandangannya.

"Kita masuk, ya, sayang. Nanti kita tunggu nenek sampe ke rumah."

"Aretha tunggu!"

Aretha memutar bola matanya malas ketika seorang yang sama sekali tak ia harapkan kehadirannya malah berdiri di depannya. Sebenarnya, apa mau perempuan itu?



—oOo—



Aretha menatap malas ke arah seseorang yang dulunya sangat-sangat sering bertengkar dengan dirinya. Anaknya sudah ia bawa ke atas dan sudah aman dengan bi Rumi. Kini, giliran dirinya mengatasi satu semut yang berada di depannya sekarang.

Trust Me Aretha (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang