7 : Profesionalitas

584 162 52
                                    

Jimin

Siaran televisi meliput salah satu acara menanggap wayang di daerah Kepanjen. Suara lantang dalang yang mulai komat-kamit soal cerita pecahnya perang Bharatayudha membuat Jimin makin betah menonton. Sedari kecil memang hidupnya berputar di barang-barang klenik peninggalan leluhurnya. Masih ingat pula kalau ia beberapa kali meminta dibelikan satu wayang untuk bisa ia buat mainan sendiri.

Malam kedua rasanya masih canggung. Tidak bisa tidur dengan nyenyak dan Jimin jadi berarkhir pamit beberapa kali ke belakang guna untuk mengambil air mineral.

Tubuhnya bangkit dari kasur. Meninggalkan kamar strategis yang disiapkan untuknya. Berjalan pelan-pelan supaya tidak mengganggu anggota keluarga Jeongguk yang mungkin sudah terlelap di jam sepuluh malam.

"Jimin, mau kemana?"

Yang Punya Nama hampir melempar gelas ke udara, saking kagetnya. Berusaha mengurangi rasa terkejut dengan mengusap pelataran dadanya yang berisi jantung kembang-kempis. Seolah tahu kalau yang punya badan sedang gelisah dan berpacu cepat seperti baru ikut pacuan kuda. "Jeongguk!" pekik Jimin tertahan, "jangan suka mengejutkan orang, begitu. Kalau aku sampai pingsan disini, kamu mau tanggung jawab?"

"Tidak," jawabnya enteng yang sukses mendapat tepukan di lengan dari Jimin. "Mau kemana? Ambil air putih?"

"Iya."

"Mau aku antar?"

Jimin jadi merasa kalau ia merepotkan. "Tidak usah, deh. Aku bisa ke belakang sendiri. Kamu bisa balik tidur."

"Aku belum tidur." Kedua lengan Jeongguk mendorong tubuh Jimin supaya mulai berjalan dan tidak perlu peduli ke pemuda itu yang menawarkan diri untuk menemani. "Sekalian mau ke kamar mandi," tambahnya.

"Kamu ini takut ke kamar mandi sendirian atau bagaimana?" Jimin pasrah saja didorong. Berjalan pelan-pelan sambil menahan supaya tidak jatuh atau terantuk sesuatu di depan. "Jangan dorong-dorong, nanti aku bisa jatuh."

"Kok, malah berdoa?"

"Berdoa?"

"Kan, setiap omongan itu doa."

"Amit-amit." Jimin berhenti sebentar untuk mengetokkan tangannya ke batok kepala pelan dan ke arah tembok. Berkali-kali supaya tidak kena sial. Berpindah ke dinding saja daripada ke dirinya.

Ia mendongak dan bertemu tatap dengan sosok Jeongguk di ujung lorong. Menenteng sebuah laptop dengan kacamata anti radiasi yang bertengger di hidung. Seperti sudah siap kapan saja kalau mau diinterview kerja. Deskripsi paling jelas sampai ia bisa melupakan Jeongguk yang baru beberapa saat yang lalu mendorong tubuhnya. Tidak lagi terasa ada beban yang menggantung di punggung.

Jimin celingukan. Mencari-cari Jeongguk jahil yang mendorongnya sampai di sisi kulkas. Justru seperti melompat dan berganti dengan si Jeongguk berkacamata. "Jeongguk?" Panggilnya memastikan. Takut kalau ia memang benar-benar mulai kurang tidur sampai berhalusinasi sebegini nyata. Ia masih ada di lingkup keluarga kawan sekamarnya waktu di kos. Tidak mungkin bisa ada hal yang lebih janggal dari kejadian sewaktu ia ada di rumah sakit. "Habis dari mana?" Tanyanya takut-takut. Mulai awas.

"Habis dari mbak Lastri," jawab Jeongguk ini sambil sesekali membenahi kacamata nya yang turun. "Mau ambil minum, ya?"

Jimin manggut-manggut. Tidak mau bersuara karena Jeongguk yang tadi sudah bertanya hal serupa.

"Hati-hati, ya, Jim." Pemuda itu berjalan melewati Jimin sambil berbisik, "kalau kamu ketemu dengan yang aneh-aneh, anggap saja tidak pernah kejadian. Jangan jadikan beban pikiran." Hembus udara bisa Jimin rasakan melewati badan waktu kawannya menjauh. Langkah kaki nya masih bisa didengar menggema di lorong antar bangunan utama dan dapur.

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang