23 : Soal Negarakertagama

408 126 29
                                    


Jeongguk

Sebatas yang ia tahu, kemunculan Chaeyoung adalah untuk menggotong beberapa prasasti yang tersisa. Satu persatu. Kegiatannya dihalangi oleh Seulgi, kakak sulung Jeongguk yang kadang terlampau peka. Bisa mendeteksi orang atau lelembut yang mendekat ke arahnya. Faktor awal, mungkin dikarenakan kemampuannya lepas sukma. Ia seakan menyatu dengan alam yang jadi tempatnya bernaung. Perempuan itu sudah duduk di atas kursi roda dan memandangi Jeongguk dengan seksama.

Setiap pion yang ada di atas meja peta, ditata kembali oleh Jeongguk. Masing-masing bentuk mempresentasikan satu orang yang bisa diandalkan. Bulatan-bulatan kecil berjumlah tujuh dipasang Jeongguk di titik-titik paling rawan. Kalau sudah masuk ke fase baku hantam, peliharan gaib nya harus dimanfaatkan. Itu satu-satunya tujuan mendiang ayahnya menurunkan.

"Mbak Seulgi, obatnya." Berisik denting aksesori masuk ke ruangan hening. Bersama dengan suara merdu milik Irene yang menyertai. "Jangan lupa diminum," tambahnya lagi.

Jeongguk bisa lihat kalau mbak sulung nya cuma mengangguk. Tidak mau menanggapi lebih seperti itu cuma teguran biasa.

"Sudah tahu, Jimin mau ditempatkan dimana?" Irene datang mendekat. Ikut bergabung di lingkar meja. Auranya yang tenang jadi membawa ketentraman juga di sekitaran Jeongguk.

"Sudah," jawab Jeongguk, "cuma gambaran masa depan nya jadi acak, beberapa."

"Habis mbak Seulgi, giliranku, kan?"

Raden Bagus mengangguk. "Maaf, mbak," bisiknya.

"Ndak papa," hibur sang kakak kedua, "sudah jadi tugasku. Kamu disini jaga mbak Seulgi. Dia belum lepas pen dari kakinya." Irene beralih ke anggota tertua di dalam ruangan. "Mbak Seulgi jangan keluar dulu dari sini. Vajra nya, nanti bisa dipinjamkan ke NamJoon atau Jimin. Bagaimana?"

Gambaran masa depan di dalam pikiran Jeongguk kembali berputar. Pintu-pintu baru yang bisa dilalui oleh alur masa, terbuka semakin banyak. "NamJoon," usul Jeongguk. "Aku bisa buat struktur pasukannya, nanti."

"Biarkan aku yang pilih, dek," sahut Seulgi, "Vajra nya juga tidak mau ke semua orang."

"Iya," jawab Irene setuju. "Jangan jadikan beban pikiran, dek Bagus. Istirahatnya jangan sampai berantakan. Ya?"

Jeongguk menurut. Tubuhnya merunduk dan menyandarkan kepalanya ke lengan kursi yang diduduki Seulgi. Mencoba mencari pegangan hidup. Tidak tahu, dapat atau tidak. Membiarkan puncak kepala nya diusap-usap sayang oleh kedua kakaknya. Berada di sekitar mereka, membuat Jeongguk berubah jadi bocah kecil yang tidak tahu apa-apa. Ingin sekali rasanya, ia menyerah saja. Biarkan Taehyung berbuat seenaknya. Ia cuma butuh orang-orang di sampingnya, aman. Tidak perlu ada pertumpahan darah lagi. Tapi ia juga tahu kalau mengharap sesuatu yang mustahil, ada batasnya.

...


"Kamu bisa tengkar, tidak, Jim?"

"Kamu Jeongguk benaran, kan?"

Dua insan yang saling pandang di kantin rumah sakit baru bisa dilerai waktu dua mangkuk bakso datang dari mbak-mbak yang punya kedai. Mungkin jengah karena berkata permisi sedari tadi tapi tidak kunjung digubris.

"Iya." Jeongguk menghela napas. Ikut tidak sabar.

Manik Jimin memincing. Kedua tangannya masih menggenggam sekotak susu UHT dengan rasa cokelat. Seperti tidak mau dilepas dan diletakkan saja di atas meja. Jemarinya mencari-cari sedotan tanpa mau menarik pandangan dari lawan bicara nya, sekarang. Setelah ketemu, Jimin kemballi menyeruput. "Maksudnya apa, tanya begitu?"

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang