44 : Tipe yang Setia

1K 117 27
                                    

Jeongguk

Berkumpulnya seluruh awak yang semula selalu diadakan sewaktu tidak ada Jimin, kali ini bisa mengundang anak itu masuk. Bergabung di percakapan yang bisa pelan-pelan ia cerna. Sambil santai melihat api unggun di tengah sekumpulan orang yang melingkar. Jadi sumber panas yang memungkinkan menghangatkan dua keluarga.

"Sebenarnya, memang cuma Hoseok yang setuju sama rencanaku." Kursi lipat yang diduduki Taehyung sedikit hilang keseimbangan waktu pemuda itu menyandarkan tubuh. Mencari-cari posisi rileks supaya bisa bercerita lebih panjang. "Chaeyoung sama mas SeokJin nya masih ragu."

"Ya, memang. Wong kamu sudah kayak bocah edan. Tiba-tiba ngomong kalau Singasari lebih baik ada di bawah nama Majapahit," sahut SeokJin, "siapa yang ndak kaget? Belum kamu jelaskan, aku sudah tahu kalau rencanamu itu tidak mungkin aman."

Penjelasan panjang lebar soal mengapa Hoseok mendukung rajanya, tidak begitu Jeongguk indahkan. Yang ia dengar cuma Patih Majapahit itu merasa kalau ia satu-satunya yang bisa mengamankan rajanya. Apapun rencananya, Taehyung masih punya gelar keningratan yang harus dipatuhi. Mungkin Hoseok juga enggan menimbulkan perpecahan pendapat yang tidak perlu. Justru menjadi sebab pecahnya dua kerajaan yang bersaudara.

Siluet pemuda dengan kedua lengan yang penuh akibat memeluk bantal, masuk perlahan ke dalam koloni kecil Jeongguk. Asalnya datang dari rumah. Mungkin baru saja memastikan kalau semua lampu sudah padam. Menghemat listrik.

"Habis ngapain?" Tubuh Jeongguk menegap. Menoleh ke kekasihnya yang duduk di samping kursi lipat miliknya.

"Ke kamar mandi," jawab Jimin, "aku ingat sesuatu lagi. Kamu waktu kecil suka mainan dengan setan, ya? Kok, ada kejadian yang kamu naik pohon, sih?"

"Naik pohon?" Jeongguk memincing heran sembari mengingat-ingat. "Itu, kan, waktu pertama ketemu dengan kamu."

"Bukan yang itu. Kamu sudah lumayan besar, kok."

"Yang mana?"

"Kayaknya yang kamu sama aku." Taehyung menyambar ke pembicaraan. Tangan kanan nya menimang-nimang buku yang lumayan tebal. Dari dekat, baru Jeongguk tahu kalau itu sejatinya pastilah album foto. Setiap lembar nya terlalu tebal untuk bisa dibilang tumpukan kertas dan menjadi buku. "Waktu habis main undur-undur (sejenis hewan yang biasanya bisa ditemui di tanah)."

Jimin manggut-manggut membenarkan. "Kalian kejar-kejaran sama orang laki-laki tinggi. Aku ndak kenal. Setelah ditegur, baru kalian mau balik ke rumah."

"Sore-sore juga."

Mungkin cuma Jeongguk yang kurang ingat, kali ini. Melihat Jimin yang bisa leluasa berinteraksi dengan Taehyung jadi melegakan batin Jeongguk pula. Penyatuan dua keluarga besar ini kembali bisa dijalankan setelah sang perantara juga ikut di dalam nya. Tanpa Jimin, rasanya mungkin Singasari bakal masih gencatan senjata. Bisa lebih parah lagi dengan Jeongguk yang tidak dikembalikan ke badan aslinya. Selamanya ada di wujud sukma sampai perangnya diselesaikan oleh seseorang yang bukan dirinya.

"Kan, ada juga yang kalian rebutan Jamus Kalimasada." Jimin jadi tidak bisa diam. Menggebu-gebu bercerita seolah baru kemarin kejadian. "Taehyung mau punya Jeongguk tapi, kan, tidak bisa."

"Ya, karena ada wujudnya," sanggah Raden Mas, "bisa dipegang. Kalau bawa karma yang bawa Jamus Kalimasada di generasi ini, kan, ndak ada wujudnya. Cuma bisa dirasakan saja."

"Kalian tengkar sampai lempar-lemparan vas bunga."

Taehyung terpingkal-pingkal. "Sampai sekarang, masih ada lukanya di kulit kepala. Punya Jeongguk malah lebih kelihatan." Telunjuk Taehyung mengarah ke luka di pipi kiri Raden Bagus yang membekas seperti terkelupas. "Di muka, soalnya."

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang