35 : Daripada Bikin Anak Orang Patah Hati

536 131 27
                                    


Jeongguk

"Terus apa yang berubah?" Jeongguk sudah berdiri di depan kamar lebih dari sepuluh menit. Menunggu reaksi Jimin yang katanya, minta didengarkan. Setelah pemuda itu bilang kalau baiknya mereka berdua pakai hubungan formal di bawah nama 'pacar'. Sebutan klise pra-nikah yang dibuat orang-orang kebanyakan. "Sudah dari kapan aku selalu kelihatan seperti orang pacaran kalau dengan kamu," tambahnya.

"Ya, yang berubah cuma sebutannya."

"Memangnya kamu mau disebut apa?"

"Sayang?"

Jeongguk merinding. Bergidik karena tidak biasa dengan kata yang dilontarkan kebanyakan anak muda. Ia sudah tidak ada di fase cinta monyet yang manis-manis madu tapi bisa sepahit jahe yang tidak sengaja terjilat. "Keri aku, cok. (Geli aku, (jan(cok))," sanggah Jeongguk, "ndak ada bedanya. Kita yang nanti pacaran dan kita yang kemarin, juga sama saja."

"Kan, biar lebih formal." Jimin ngotot. Seperti tidak mau kalah dengan argumennya. Bersikukuh kalau mereka berdua harus punya sebutan kalau nanti tidak sengaja ditanya orang. "Kamu ini ndak pernah pacaran atau bagaimana, sih?"

"Sudah geli duluan lihat yang lain."

"Sumpah?" Jimin hampir melotot. "Mulai dari SMK?"

"Aku lebih fokus bikin coding daripada bikin anak orang patah hati," jawab Jeongguk sambil menyeret kawan yang sudah berubah titel jadi kekasih nya, masuk ke dalam kamar kos. Udara sudah mulai dingin. Tidak memungkinkan keduanya untuk tetap berbincang di luar ditemani mas Joko yang sudah bersiul-siul. Tanda kalau laki-laki itu sudah siap menggoda pasangan yang baru jadi. "Kamu sudah ingat siapa aku?"

"Ingat tapi ndak semuanya."

"Kapan kita ketemu pertama? Waktu umur berapa?"

"Kamu kayak tanya perkalian ke murid TK," sanggah Jimin. "Aku cuma dapat mimpi sedikit-sedikit. Tidak langung banyak." Jimin duduk di atas kasur. Bersila sambil memandangi kekasih baru nya.

Komputer sudah dihidupkan. Jeongguk siap memakan deadline untuk minggu ini. Menyantap setiap kode yang harus diselesaikan satu persatu. "Jangan cepat-cepat. Nanti juga balik-balik sendiri."

"Tapi kalau ndak cepat, aku yang makin penasaran."

"Ya, ditahan dulu."

"Kamu ndak membantu sama sekali."

"Harusnya aku yang bilang begitu. Semakin dipaksa, semakin susah."

Jimin agaknya menyerah. Tidak mau perdebatan tidak penting ini makin panjang. Dilihat dari tabitnya yang langsung meringkuk di atas kasur sambil menarik selimut. Mirip seperti kucing yang merajuk karena tidak diperbolehkan main di luar rumah.

Jeongguk jadi tidak tega. Ia usap-usap puncak kepala Jimin dengan sayang. Berusaha menenangkan. Mungkin saja Jimin bisa lebih baik kalau sudah mendapat afeksi lewat sentuhan. "Jangan terlalu dipikir, Jim. Aku bakal bantu, kok. Kemana saja. Kalau harus bolak-balik Malang-Turen, aku juga ndak keberatan."

"Apa harus bolak-balik begitu?"

"Kayaknya," gumam Jeongguk. Sekelebat gambaran masa depan membuatnya harus mengalihkan pandangan ke lantai keramik kamar. "Memang ndak bisa sampai semuanya. Tapi paling-tidak, bisa menjawab pertanyaan yang kamu ingin tahu."

"Bisa-tidak, ya?"

"Harus percaya dulu."

"Kalau ndak bisa?"

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang