10 : Pusing Berpikir

553 141 36
                                    


Jeongguk

Alurnya sudah mulai bisa Jeongguk baca. Setelah satu Arca Dwarapala menghilang, satu lagi menyusul. Dugaan awal kalau Majapahit memang berencana menghapus nama Singasari jadi kenyataan. Tidak pernah ia terima surat yang menjelaskan tujuan Taehyung membawa pergi saksi yang jadi penanda kalau Singasari pernah ada. Tapi Jeongguk tidak kehilangan asumsi liar. Antara Taehyung yang punya ideologi berbeda dengan tujuan yang tidak serupa pula, atau pemuda itu sudah memikirkan tujuan baik tapi dengan cara yang kurang bisa diterima.

"Kita yang minta langsung ke Majapahit, Jeongguk." Kakak sulung nya menggebu-gebu. Tahu kalau koneksi perusahannya bisa dijadikan patokan. "Jangan tunggu mereka buat menyerahkan sendiri."

"Ndak (Tidak) bisa, mbak," sahut NamJoon. Hobi dua orang ini memang berdiskusi sampai bertengkar. Jeongguk tidak heran kalau keduanya membawa topik berat ke meja makan oval di ruang tengah istana. "Majapahit tidak tahu kalau mereka jadi tersangka, disini. Karena hilangnya tidak jelas juga. Siapa yang bisa bawa batu besar, begitu?"

"Chaeyoung," sahut kakak kedua Jeongguk, "dia bisa jalan tanpa ketahuan siapa-siapa. Dia juga bisa tidak kelihatan sama orang Singasari."

"Aku bisa tahu dimana dia." Seulgi tidak mau kalah. "Kucing di sekitar arca bisa aku rasuki kapan saja."

"Jangan korbankan pekerjaan, mbak," sanggah Irene.

"Sing (Yang) bisa dilakukan cuma menunggu, sekarang." NamJoon menarik kesimpulan. "Majapahit belum ketahuan membikin gerak yang mencurigakan."

"Jeongguk," panggil Irene yang membuat semua pasang mata mengarah pula padanya. "Piye (Bagaimana)?"

Kalau Majapahit membuat pergerakan, tidak bakal mungkin ketahuan. Kalaupun sampai ada yang tahu dan Singasari mencoba memperingatkan, Taehyung bisa berdalih kalau ia cuma main-main. Pemuda itu bisa menarik garis darimana saja supaya orang tidak ikut campur. Aji-aji yang dikeluarkan anak itu juga bisa menempatkan Jeongguk di tempat paling bahaya sampai-sampai ia menolak keluar dari wilayah Singasari. Kali ini, yang paling benar adalah menunggu. Sampai Jeongguk tahu kejelasan alasan lelaki itu datang dan bermutasi jadi pencuri ulung yang mencomot barang bukan miliknya.

Wajah Jeongguk mendongak setelah puas menatap piring kosong di atas meja sambil berpikir. "Jangan ada yang keluar Singasari," pintanya. "Terutama mbak Irene."

"Aku?" Irene tidak terkejut. Semata-mata cuma memastikan. Hanya perempuan ini yang diperbolehkan Jeongguk tahu apa isi otaknya, sekarang dan nanti. "Jalan mana yang kelihatan?" Kalimat ini merujuk ke beberapa pilihan masa depan pasti yang bisa ditangkap pengelihatan Jeongguk. Yang paling dekat.

Dan cuma satu yang ia lihat. Sebuah kejadian tidak mengenakkan yang tidak mau didengar semua orang. "Yang aku mati," jawabnya.

...


Telunjuk Jeongguk mengarah ke langit-langit. Berniat menghalau Jimin supaya berhenti berisik dan tidak banyak bicara. Anak itu sudah beberapa kali mencoba membangun topik sederhana yang justru memusingkan Jeongguk. Bukan jawaban yang terpikir, tapi selalu gambaran masa depan. Di saat seperti ini, mata batin nya sulit tertutup. Tidak mau mengalah dengan ketenangan dan justru memunculkan khawatir.

"Jangan tanya-tanya dulu, Jim." Jeongguk berbisik rendah. "Aku sedang pusing," tambahnya.

Jimin yang semula asyik cengar-cengir sambil menunjuk beberapa tanaman menggantung di ruang tamu, jadi diam. Beralih ke kawannya sambil memandangi Jeongguk khawatir. Mungkin takut kalau Jeongguk benar-benar dilanda sakit kepala. "Tidak mau cerita?" tanyanya, "biasanya bisa membantu kalau dikeluarkan uneg-unegnya."

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang