17 : Jauh-Jauh

419 135 12
                                    

Jeongguk

Jajaran bangku masih ditata mepet dengan tembok. Mesin judi dingdong juga berdering. Sahut-sahutan. Hampir seperti pasar malam dengan banyak orang yang bercakap. Bedanya, Jeongguk bisa dengar teriakan frustrasi dan bahagia saja. Jarang orang yang bercengkerama satu sama lain. Tidak punya waktu.

Tubuh Irene didudukkan di kursi. Satu kacamata bertengger di atas hidungnya yang bengir. Jemarinya memencet tombol-tombol yang ada sambil masih fokus ke mesin yang bekerja. Jeongguk bisa lihat dua kotak di layar berputar. Dari terakhir berhenti dan kembali lagi mengitar. Kali ini jatuh pada bentuk bintang bertumpuk dan buah lemon. Irene diam saja. Menunggu mesin di hadapannya berbunyi berisik. Setelah selesai, baru perempuan itu menarik kotak laci yang jadi satu dengan mesin. Tidak ada gaduh kemenangan atau kesenangan meski banyak uang receh di dalam kotak nya.

"Mbakmu menang," gumam Jimin yang berbisik. Kakinya berjinjit untuk bisa sampai pada tinggi Jeongguk.

"Mbak Irene," sapa sang adik bungsu pada kakaknya, "badhe ngomong, sekedap (mau ngomong sebentar)."

Irene menoleh sebentar. "Sek, ya (sebentar, ya), Dek Bagus. Tinggal sekali," pintanya. Jemarinya mulai sibuk lagi. Bukan jadi pemandangan asing untuk Jeongguk yang melihat kakak perempuan nya bersantai-santai di tempat main judi dingdong. Selain cara main yang mudah, tempat yang tidak jauh dari praktiknya, dan keuntungan cuma-cuma yang bisa didapat, mungkin jadi kebahagiaan tersendiri untuk Irene.

Mesin kembali berisik. Meruntuhkan lagi ratusan uang receh dari dalam. Jeongguk tidak pernah salah kalau menduga Irene punya keberuntungan yang bagus. Kemana saja dibawa, kakak perempuan nya seperti jimat yang memancar. Ia sendiri sudah kecipratan. Asalnya dari mendiang ayahnya yang sudah tidak ada. Yang sifatnya hampir sebelas-dua belas dengan mbak Seulgi.

"Sampun mantun, mbak?" tanya Jeongguk. Kursi di samping kakak nya, ditarik supaya bisa digunakan untuknya dan Jimin duduk. "Tadi, aku lihat sesuatu."

"Ganti, tah (Berubah, kah)?"

"Napane (Apanya)?"

"Masa depan nya."

"Ndak." Jeongguk menggeleng. "Cuma bisa diminimalisir."

"Negosiasi ndak bisa, dek." Irene menarik dirinya supaya berbalik dan menghadap dua orang yang tengah memperhatikan. "Mereka sudah mikir kalau mau membawa semua sisanya. Lebih cepat dari yang kamu pikirkan."

Jeongguk diam. Manik matanya berpendar pada Jimin yang patuh. Diam saja seperti prajurit yang siap dititah. Mendengarkan dengan seksama, kalau-kalau bisa bantu.

"Jimin," panggil Jeongguk, "kamu ingat omah (rumah) Turen?"

"Ha?" Jimin mengerjam-ngerjap. "Rumah siapa di Turen?"

"Buyutmu."

"Oh," hela Jimin, "ingat. Itu tempatku waktu main dengan Taehyung, dulu."

Jeongguk manggut-manggut. "Ada salah satu pandangan masa depan yang ada rumah itu."

"Rumahnya kenapa?"

"Aku tidak tahu waktu pastinya, tapi nanti, kamu bakal ditemui Taehyung. Dimintai tolong. Jangan diterima."

"Dia, kan, keluarga jauhku," sanggah Jimin, "pamali, kan, kalau tidak dibantu."

"Bukan masalah pamali atau ndak nya." Jeongguk tidak mau kalah. "Tapi soal sanggup atau tidaknya. Tugasnya ndak berat. Tapi jangan diterima."

Irene menepuk paha Jeongguk perlahan. Seperti memperingatkan sang adik supaya tidak terlalu banyak memaparkan apa yang dilihatnya di masa depan. "Sabar, Jeongguk," katanya, "Jimin, maaf menyeret kamu ke masalah yang sepertinya, kamu masih bingung. Jeongguk tidak punya niat buruk, kok. Cuma kadang, tidak sabaran. Biar aku saja yang jelaskan."

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang