2 : Kamu Licik

754 183 37
                                    


Jimin

Pasar besar memang ramai kalau masuk jam pulang kantor. Antara pukul tiga sampai lima sore. Berbondong-bondong mobil dan motor diparkir seperti tidak tahu tempat. Beberapa ada yang berpenghuni, ada yang ditinggal entah kemana. Menghalangi pejalan kaki yang hendak melangkah bebas. Tapi ini lah kota Malang. Tidak lepas dengan jajanan kaki lima yang melegenda, banyaknya orang bertegur sapa, sampai ramaikan orang menjajakan dagangan. Bising tapi bisa bikin kangen.

Jimin kelihatan mencolok di tengah lautan manusia yang mengantre untuk bisa masuk ke warung sate Madura. Kain kebiruan yang jadi ciri khas rumah sakitnya kelihatan menyala di antara orang-orang. Tidak luput pula tatapan heran yang mungkin saja mengira Jimin sedang istirahat makan siang atau sekadar mampir, sebentar.

"Mas, sate nya satu porsi, ya," pesannya pada sang penjual. "Dibungkus."

"Ayam? Kambing?" Mas-mas berkaos oblong biru tua itu tidak melepas pandangan dari tungku sate. Tangan kanan nya sibuk mengipas supaya bara apinya tidak padam.

"Kambing," jawab Jimin. Satu kursi plastik ia tarik untuk jadi tumpuan duduk.

Telfon genggam yang ditinggalkan di dalam tas, berdering keras. Seperti tidak tahu tempat. Setelah mendapat tatapan aneh karena hampir mirip dengan perawat yang bolos kerja, kini Jimin seperti mengganggu kenyamanan makan. Nama SeokJin terpampang di layar sebagai penanda. Buru-buru jimin angkat panggilan telfon dari kawannya yang selalu beda shift.

"Halo?" Sapanya duluan.

"Sudah pulang, kamu?" Suara SeokJin menggema tanpa basa-basi salam atau sekadar bertanya kabar. "Aku dihubungi ibu kamu terus. Katanya, kamu ganti nomor tapi tidak bilang."

"Memang," jawab Jimin malas. Satu-satunya alasan ia memilih untuk tinggal sendiri dan mengabaikan rumah adalah pembahasan yang bakal dibawa ibunya. Klenik yang berseberangan jauh dengan sains. Memibikin pusing dan membuat Jimin tidak betah sama sekali di rumah.

"Cepat telfon ke rumah. Kamu dicari ibu kamu itu, lho."

"Ibu bilang, tidak, ada perlu apa?" Kedua tangan Jimin sibuk mencari-cari dompet di tas selempang yang ia kenakan. "Kalau masih mau bahas klenik dan tidak mau aku jadi perawat, mending jangan didengarkan."

"Kamu bilang begitu, kamu itu masih ada hubungannya dengan orang-orang Singasari, dulu."

"Yang mana?" Tanya Jimin. "Yang aku disuruh bawa buku kemana-mana seperti jimat itu?" Ia mendengus geli. "Tidak usah dibahas, deh. Semakin diobrolkan, makin tidak masuk akal."

"Pokoknya, aku sudah bilang. Antara kamu percaya atau tidak, terserah kamu." Tersirat nada jengah disana.

"Iya." Jimin jadi ikut tidak berstamina. Malas menanggapi dan bikin capai hati. "Aku tutup, kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi."

SeokJin tidak menjawab dari seberang telfon. Sepuluh detik lamanya pemuda itu diam. Entah karena tidak dengar suara Jimin atau sambungannya ia biarkan. Sengaja supaya Jimin seperti mengobrol dengan tembok. Tidak bakal ada yang menyahut.

"Mas?" Tanya Jimin memastikan.

"Krungu (Dengar)."

"Aku tutup, kalau begitu. Terimakasih sudah bilang."

"Hati-hati, Jim. Aku cuma bilang biar kamu tidak kena bahaya."

Jimin mengangguk. Setelah mengucap salam, ia tutup sambungan telfon itu sepihak. Banyak hal tidak enak terjadi pula di hari ini. Mulai dari pasien yang marah-marah sampai merusak peralatan rumah sakit, Jimin tidak sengaja disenggol waktu membawa nampan berisi bakso, atau hal kecil yang bakal ia hadapi, sebentar lagi. Bertemu dengan Jeongguk. Pemuda itu memang cenderung diam dan pasif. Tidak mau bicara kalau tidak diajak. Meski Jimin yakin kalau pengetahuan kejawen laki-laki itu ada di luar nalar, Jeongguk tidak pernah memaksa Jimin untuk percaya dengan semua perkataannya. Cenderung lebih membebaskan dan memberi pilihan Jimin untuk menentukan.

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang