38 : Panggung Sandiwara

469 117 9
                                    


Jeongguk

Gulungan Jamus Kalimasada melayang-layang di atas telapak tangan kanan. Menampilkan kumpulan huruf yang masih sukar Jeongguk baca. Sansekerta masih membuatnya berhenti dan kembali berpikir, apa kiranya yang dimaksud di dalam kalimatnya. Berbeda dengan aksara Jawa kuno. Jeongguk masih bisa menyatukan koneksi antar bahasa karena beberapa kata masih dipergunakan di daerah asalnya sampai sekarang.

"Sudah berapa hari dengan Jimin?" NamJoon datang dari dapur. Berpakaian lengkap layaknya orang kerajaan Singasari kebanyakan. Kelihatan lebih muluk dengan beberapa plester yang menutup luka sayatan di badan nya yang tegap. Mungkin bisa dilepas beberapa hari lagi. Seperti cuma laki-laki ini saja yang selamat waktu sudah mendarat di medan pertempuran. Datang dan masih bisa berdiri tegap. Membawa oleh-oleh sukma orang juga. Hebat. "Kok, nempel terus? Seperti sudah sah saja."

"Ngiri kamu?"

"Kayak anak SMA."

"Malah kayak anak bebek."

"Mirip Lesamana. Sayangnya ayam jago itu ndak diikuti itik-itik waktu jalan."

Jeongguk mendengus. Menganggap enteng apa yang baru saja NamJoon ujarkan. Pandangannya kembali fokus ke susunan pion di atas meja kayu yang berukir. Beberapa hari lagi, mereka bakal kedatangan tamu dari Madura. Akhirnya bisa membuka wilayah lagi setelah beberapa minggu diisolasi. Menjauhkan masalah yang tidak perlu. Pergesekan dengan Majapahit bakal mencoreng nama kedua wilayah yang seharusnya, tidak ada sangkut pautnya kecuali tali saudara. Bukan silahturami yang terjalin, tapi justru perang naas terjadi.

"Negarakertagamanya gimana?" Tubuh Patihnya yang tinggi bersandar di sisi meja yang kosong. "Sudah mau diberikan langsung ke Majapahit?"

"Siapa yang mau berangkat ke Wilwatikta? Kamu?"

"Cuma tanya. Sensitif sekali kamu. Baru puber?" NamJoon tidak terima diumpani kalimat sinis. "Jangan sampai Jimin sendiri yang kasih ke Taehyung. Kalau Majapahit masih aneh-aneh, bakal gampang dimanfaatkan. Anak sepolos dia, kan, rawan."

"Memang polos tapi dia ndak bodoh."

"Kata mbakmu, kamu sudah kenal dengan dia sebelum kenal dengan aku. Aku jadi curiga kalau kamu bohong soal Pararaton."

Jeongguk menggeleng. Menyangkal tuduhan yang baru saja dilempar ke arahnya. "Ndak," katanya, "aku memang tidak tahu kalau dia yang bawa Pararaton. Karena aku diasuh sama dia dari kecil. Malah awalnya, aku kira, dia itu orang yang bakal memihak Majapahit karena hubungannya dengan Raden Mas lebih terjaga."

"Dengan kamu tidak?"

"Memorinya saja ndak utuh," timpal Raden Bagus, "dia tidak ingat aku ini siapa. Jadi kasarannya, aku tidak sedekat itu dengan dia. Cuma kelihatannya saja."

"Tapi, kan, sekarang kamu pacarnya."

"Titel bisa digeser siapa saja, Joon."

"Jadi intinya, kamu cemburu ke Raden Mas karena dia lebih dekat dengan Jimin daripada kamu?" NamJoon hampir tergelak. Mungkin sudah ia tahan mati-matian. "Kalian baru jadian. Jangan bikin ulah yang tidak perlu."

"Bukan." Jeongguk berbalik. Memunggungi papas kayu dan ikut bersandar di samping Patihnya. Memandang sekeliling yang hampir kosong. Cuma berisi beberapa barang dan guci emas di pojok-pojok ruangan. Cuma kain kemerahan yang bisa ditangkap pandangan Jeongguk ke dinding ruangan. "Aku bukan cuma cemburu ke Raden Mas. Aku cemburu ke siapa saja yang dia kenal. Yang dia ingat betul dan bisa bertegur sapa. Sedangkan aku? Aku butuh waktu buat bisa balik ke hidupnya, Joon."

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang