29 : Sepertinya Sudah Telat

412 123 53
                                    


Jeongguk

Setiap turunan raja dilarang untuk keluar masuk lewat gerbang belakang. Selalu dikatakan kalau pendopo belakang adalah satu-satunya jalur yang digunakan raja buat mangkat, meninggalkan dunia. Jadinya Jeongguk harus berputar untuk bisa sampai di Wilwatikta. Selama masik ada di alam gaib, ia bisa kemana saja dengan kuda. Menunggang kuda sudah setara cepatnya dengan naik kereta api.

Bangunan dari tumpukan bata menyambutnya. Sebuah gerbang tinggi yang jadi penanda masuk ke wilayah Majapahit. Ia bisa lihat sosok di antara dua gapura yang menjulang. Membawa satu keris pendek yang disematkan di ikat pinggang. Batik bermotif Matahari Merah dan beberapa aksesori keemasan jadi penanda kalau Jeongguk sudah ketemu dengan orang yang bakal jadi lawannya.

Ia turun pelan-pelan dari atas kuda. Berpegang pada satu tombak di tangan kiri, Jeongguk berjalan menghampiri. Laki-laki yang mungkin, sekarang juga merasa sama-sama kehilangan. Tidak ada yang bakal selamat dari malapetaka ini. Tidak kedua kakaknya atau pemuda di hadapannya. Bahkan Jeongguk sendiri.

"Aku kaget waktu kamu bilang, mau berangkat ke Wilwatikta sendirian," bisik Taehyung. Masih kedengaran tenang seperti kawan lama. Menyambut bukan pada musuh tapi saudara jauh. Jeongguk makin tidak mengerti jalan pikir pemuda ini. Dibiarkan, semakin menjadi-jadi. "Sudah ndak kenal takut, kayaknya."

Jeongguk enggan menjawab. Justru semakin buang-buang tenaga saja. Kalau ia memang ditakdirkan untuk mati hari ini, ia ingin dibuat cepat. Supaya tidak ada lagi yang tersisa. Supaya kedua mbaknya bisa lebih leluasa mengarahkan. Hendak dibawa kemana Singasari di bawah pimpinan mereka. "Aku cuma mau tanya sesuatu."

Taehyung menunggu.

"Negarakertagama mu itu lengkap? Kok, sepertinya ndak."

"Kenapa Negarakertagama?" Taehyung kedengaran percaya diri. Mungkin berusaha bersembunyi di balik fakta kalau sekarang justru keping Negarakertagama, aman di tangan Singasari.

"Ada di aku, beberapa," aku Jeongguk, "pacarmu tidak sedang edan, kan? Kok, bisa kitabnya disebar begitu."

Agaknya, pimpinan Majapahit sudah bisa dipancing pakai umpan yang ada. Terbukti dari raup wajahnya yang pelan-pelan berubah jadi serius. Air muka yang semula santai saja, kini lebih garang. Lebih menakutkan. Bagus. Jeongguk pikir, mereka berdua sudah sama-sama gerah dengan situasi yang ada. Lebih baik langsung saling menghunus senjata saja.


Jimin

Berpegang pada benda-benda sekitaran tidak membuat getar di badan berkurang. Jimin tetap tidak nyaman. Bukan karena situasi istana yang senyap dengan kakak sulung Jeongguk yang melihat puluhan pion di atas meja kayu berukir. Bukan juga karena Jimin dikunci di dalam istana megah yang belum ia kenal sepenuhnya. Batinnya tidak tenang sama sekali. Mengamati dari jauh seperti ini sama saja seperti menunggu jasad orang pulang dan putus harapan.

"Hoseok juga pasti ikut," kata mbak Seulgi. Setengah berbisik karena Jimin hampir tidak dengar. "Kalau dia pakai Kasutpada Kacarma, bakal lebih susah." Kakak pertama Jeongguk tidak mau diam saja walaupun ada di atas kursi roda. Manik mata nya yang sekelam malam, memperhatikan pion-pion yang bergerak-gerak. Selaras dengan orang yang punya pionnya.

"Apa senjata bisa dipinjamkan ke orang, mbak?" tanya Jimin.

"Bisa." Seulgi mengangguk, membenarkan. "Kalau senjatanya mau."

Jimin cuma bisa manggut-manggut patuh. Ia disini cuma punya tugas membawa kepingan Negarakertagama bersamanya. Entah ia juga bakal bertaruh nyawa atau tidak, yang penting sudah berkabar ke keluarga kalau urusan dengan Singasari tidak bisa ditinggalkan. Ibu Jimin hampir hendak mengadakan acara untuk membekali Jimin pergi, tapi tidak bakal sempat. Jimin juga enggan merepotkan keluarga besarnya. Sudah cukup ia jadi beban dan sumber sakit kepala ibunya karena tidak mau menerima Pararaton beberapa tahun.

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang