Jeongguk
Sukma orang berlapis tujuh. Jeongguk paham betul ilmu kejawen yang sudah turun-temurun diajarkan oleh mendiang ayahnya atau ibunya yang sekarang, ada di rumah.
Di hadapan cermin, Jeongguk menderetkan mantra pemanggil yang sudah ia hapal di luar kepala. Waktu kecil, mungkin karena tumbuh jadi pemuda yang lumayan aktif, Jeongguk jadi sedikit nakal. Membebal dan menyesatkan beberapa setan. Akibat dari perbuatannya adalah seluruh keluarga diharuskan mengadakan upacara kejawen untuk minta maaf karena telah mengganggu. Jeongguk kedapatan harus mengembalikan lelembut itu ke tempat semula, dimana ia bertemu untuk pertama kali. Jadilah ia berangkat bersama kakak sulungnya ke Sungai Brantas.
Shift malam Jimin berakhir sampai jam delapan pagi. Ia cuma punya waktu lima jam untuk bercakap dengan beberapa sosok yang pelan-pelan muncul. Bayangannya memantul di cermin panjang yang sengaja dibeli Jeongguk, jauh hari. Meski mendapat protes kalo ngeri betul, tidak sengaja menangkap bayangan sendiri di cermin oleh kawan sekamarnya, Jeongguk tidak ambil pusing. Sekadar minta maaf dan Jimin sudah bisa luluh.
"Sugeng ndalu (Selamat malam), Raden Bagus." Satu sosok paling kanan memulai. Berderet satu persatu mengucap salam yang sama. "Sanjangipun, panjenengan betah rencangan (Katanya, anda butuh bantuan)."
Jeongguk mengangguk. "Kowe kabeh (Kamu semua) ngerti kalau arca Dwarapala hilang?" Tanyanya. Kedua lengan dilipat di atas dada dan bersedekap. Menghalau udara dingin malam yang tidak sengaja masuk lewat ventilasi.
"Nyuwun pangapunten (Minta maaf), Mas Bagus." Kali ini, yang bicara adalah bayangan ketiga dari tubuh Jeongguk berdiri. Menguar aroma wangi kembang sedap malam dari tubuhnya. "Kula mboten semerap (Saya tidak tahu)."
Jeongguk menghela napas panjang.
...
Deretan kalimat yang tidak bisa dibaca sudah sekitar sepuluh menit ia pandangi. Mencari-cari yang mana kiranya yang bisa membikin error. Setiap tanda baca juga sudah diperiksa. Semuanya pas, sesuai dengan apa yang diajarkan sekolahnya dulu. Entah saking berdedikasi atau karena malas kena marah orang kantor, Jeongguk sampai membuka jurnal sekolahnya dan menandai satu persatu garis miring di bukunya. Menghitung jumlahnya dan tidak membiarkan dirinya sendiri kecolongan.
"Kenapa tidak kamu lem saja muka dan monitor laptop itu?" Jimin menegur. Satu cangkir cokelat panas tengah ia genggam dan diseruput sedikit-sedikit. "Jangan dekat-dekat. Kasian mata kamu, Jeongguk." Setelah mengolok, Jimin bakal memberi nasehat. Anak itu tidak pernah berubah. Jeongguk bahkan kadang, berpikir. Bagaimana bisa pemuda ini bekerja sebagai perawat rumah sakit dengan tabiat semacam ini. Membayangkan pasien berinfus yang dihantam banyak kalimat tidak enak saja, Jeongguk enggan.
"Ada huruf yang salah," sanggah Jeongguk. Tidak mengindahkan ocehan kawannya dan masih mencari-cari. Pandangannya bergulir dari layar laptop dan buku catatan yang ia pangku. "Kalau tidak dibenarkan, tidak bisa muncul garisnya."
"Yang mana, sih?" Jimin melongok dari balik badan. Tubuhnya sedikit merunduk untuk bisa sejajar dengan Jeongguk yang duduk bersila di atas karpet tebal. "Dari jauh cuma kelihatan seperti semut. Lembut-lembut."
"Koding, ya, begini."
"Tanda yang ini buat apa?" Telunjuk Jimin mengarah ke salah satu tanda baca.
"Kalau dijelaskan, kamu juga tidak bakal paham." Deretan huruf dan tanda baca mungkin kelihatan tidak bermakna, di mata orang. Untuk Jeongguk, sekali ia bisa memunculkan benda di web atau perangkat lain pakai kode sederhana, senangnya bukan main. Bisa mengalahkan THR Hari Raya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara [kookmin]
Fanfic[ COMPLETE ] : KookMin [ Sudah dibukukan ] Indonesian Mythology Fanfiction Jimin ingat, kawan sekamarnya cuma satu dan sekarang sedang tidur nyenyak di dalam kamar kos nya. Tapi kenapa Jeongguk selalu muncul di saat Jimin sedang senggang? Sifat yang...