32 : Satu Dari Banyak Kejadian

364 123 42
                                    

Seulgi

Jimin tergopoh-gopoh lari dari ruang kamar yang baru saja ia tinggalkan. Kedua tangan nya menggenggam erat selendang keemasan dilipatan siku. Seulgi tahu darimana pemuda itu mendapatkan kain yang cuma boleh disentuh oleh yang punya. Dari Raden Bagus itu sendiri.

"Mbak! Mbak!" pekik Jimin sambil masih melangkah. "Kok, YoonGi ndak ada badannya? Ditaruh dimana?" Pemuda ini jadi seperti keluarga korban yang tidak sengaja bertemu dengan potongan tubuh anggota keluarga nya. "Oh, iya! Dia, kok, bisa ada disini?"

"Kamu mau aku jawab yang mana dulu?" Seulgi jadi ikut kebingungan di atas kursi roda.

"Yang paling penting yang mana?"

"Ya, ndak tahu," sergah Seulgi, "kan, kamu yang tanya."

"Iya juga."

Fokus Seulgi beralih dari Jimin ke papan meja kayu lagi. Dimana dua pion Singasari bergerak menjauh dari Lumajang. Meninggalkan dua poin lain yang masih ada di tempatnya. Kemungkinan besar, Majapahit sudah bisa dilempar mundur. Entah bakal kembali ke Mojokerto atau justru menunggu karena berharap mendapat titah lain dari rajanya.

Derap langkah yang Seulgi kenal lewat di lorong ruangan. Ia menoleh untuk memastikan kalau dugaannya benar. Sosok Jeongguk menyambutnya. Bukan dengan setelan jarit batik bermotif Bunga Teratai atau perhiasan emas yang selalu dikenakan turunan raja nya. Kaos hitam yang dipadu dengan celana kain dan blazer kelabu, kini menempel apik di tubuh adik laki-laki nya yang tinggi. Mengaburkan gelarnya untuk beberapa saat. Seulgi bisa tahu dari aura yang dibawa kalau yang ada di hadapan nya bukan Jeongguk sang Raden Bagus. Tapi satu dari beberapa peiharaan gaibnya.

"Mau apa kamu mewujud Raden Bagus?" Seulgi bersuara. Berusaha bangkit dari kursi beroda yang menopang tubuhnya. Dibantu oleh Jimin yang sama-sama penasaran dengan keadaan. "Ada informasi penting yang tidak bisa diwakilkan?"

"Nyuwun pangapunten (Minta maaf), mbak yu," bisik Jeongguk ini sambil menunduk. Pandangan kedua matanya gusar. Seperti ragu hendak menyampaikan kalimat atau tidak. "Kula mboten saget nulung Den Bagus ten perbatesan (Saya tidak bisa menolong Den Bagus di perbatasan (krama inggil))." Wujud adik lelaki nya setengah merunduk. Hampir-hampir seperti orang yang hendak bersujud dan memohon ampun saja.

"Ndek endi arek e saiki (Dimana dia sekarang?)" Sudah tidak ada yang kepikiran. Seulgi tidak peduli kalau Singasari harus dibinasakan atau ikut melebur bersama dengan dirinya. Yang paling penting sekarang adalah menemukan Jeongguk. Harapan satu-satu nya yang bisa membuat Seulgi tetap waras. Tidak hilang akal dan memporak-porandakan Majapahit dengan kesehatannya sekarang. "Irene ambek (dan) NamJoon?" tanyanya lagi.

"Perjalanan ten mriki (Perjalanan kemari (krama inggil))."

Jimin yang memapahnya tidak bersuara. Sorot mata nya sudah bisa mengatakan segala. Anak ini jauh lebih kaget dan terpukul dibanding Seulgi sendiri. Dari napas yang kian lama kian cepat, sampai tubuhnya yang menggigil seperti orang kedinginan. Selendang di lipatan lengan juga dicengkeram lebih erat. Sampai rasanya bisa robek kapan saja kalau dibiarkan.

"Jimin," panggil Seulgi, "tenang."

Pemuda itu tidak menjawab. Tidak pula bergeming dan melakukan hal gila lain seperti melempar benda-benda guna melampiaskan rasa tidak nyaman di batin. Ia cukup diam dengan kelopak yang melotot. Seakan baru melihat setan gentayangan.

Irene

"Mok pikir, sukmane adikku sepadan karo lananganmu iku? Awakmu mikir, kan, lek sing mok gowo iku raja ne Singasari? (Kamu pikir, sukma adikku sepadan dengan lelakimu itu? Kamu mikir, kan, kalau apa yang kamu bawa itu rajanya Singasari?)"

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang