[26] Yang Mana, Kak??!

1.6K 211 79
                                    




Ini pertama kali setelah empat tahun lebih Megan tidak menginjakkan kaki di rumah Gilang. Kalau dipikir lagi sampai bodoh pun, Megan tetap merasa masih kurang lama dan kurang jauh. Buktinya, dirinya masih merasa seolah baru kemarin-kemarin melompat dari lantai dua rumah ini.

"Masuk aja, Mbak Megan. Kak Gilang di kamarnya," kata Theo seraya merapikan kemejanya. Kelihatannya Theo bersiap pergi.

Megan pangling. Ternyata si teh ijo menjelma jadi pria dewasa yang sama menariknya dengan sang kakak. Padahal dulu tambun, ngomongnya nyablak, rakus dan berisik. Tapi lihatlah Theo sekarang, perut rata, bersih, wangi dan sangat sopan. Senyumnya menawan. Megan yakin badan kekarnya didapat dari latihan fisik yang gak main-main. Milo betul, Theo mirip Gilang. Bedanya, Gilang lebih parah. Gak pake usaha udah gagah mempesona.

Dih... kenapa selalu bagus mulu tuh cowok di pikiran gue?

"Kak, tungguin dong!"

Di belakang Megan, langkah Mario terseret-seret sambil membawa beberapa kotak di tangannya.

"Gak berat kan, Yo? Gitu aja kayaknya susah, heran!" cibir Megan.

Mario mendengus kesal. "Kaki gue abis ketimpa lemari lo, Kak! Masih ngilu nih! Sampe lecet kulitnya!"

Megan melirik kaki Mario yang tampak memar, ada goresan yang lukanya sudah mengering. Setelah heboh-heboh menyelamatkan seekor Doni, pada akhirnya Megan, Satria ditambah Belin dan Sukma juga yang membereskan perkara lemari tumbang. Sial sekali, Megan tidak punya alasan untuk tetap mempertahankan niatnya untuk memblokir jendela. Sekarang, penataan kamarnya-yang sangat normal-disempurnakan Belin dan Sukma.

Belin bahkan sempat membisiki Megan dengan pernyataan skak-mat dan senyum tertahan. "Kalau udah move-on mah, gak takut sekalipun dinding kamar lo jebol."

"Anjir ini tangganya, bikin kaki gue ngilu!" umpat Mario. "Kak! Pegangin satu dong!"

Ck, siapa suruh otaknya ditaroh di kaki. Megan berbalik. Mengambil satu kotak dari tiga tumpukan di tangan adiknya.

"Jangan banyak ngeluh, Miura udah bayar lo," ucap Megan.

Mario berpikir sejenak. Mungkin heran sendiri kenapa hari ini dia jadi babu kakak-kakaknya.

"Kenapa kita yang harus nganter ini?" tanya Mario ketika mereka kembali menaiki anak tangga.

"Iya ya, kenapa kita?" Megan pun bertanya-tanya. Padahal orang tua Gilang asyik-asyik saja di rumah mereka. Mengobrol dan lupa diri. "Separah apa sih muka Kak Miu?"

Mario tergelak pelan. "Lumayan. Kepentok gulungan karpet, hidungnya langsung merah, dagunya lecet kena lemari juga pas ngejar Doni. Kayaknya Doni bakal kena hukuman deh. Tadi Kak Miu ngomel-ngomel." Mario berpikir sejenak. "Maki-maki malah. Iya, tadi gue denger Kak Miu maki."

Dulu Megan selalu merasa mereka terlalu ramai. Lima bersaudara itu terlalu banyak. Tapi sekarang, lima ternyata dikit. Kak Mozza sedang jadi pengantin, Kak Miura kena sial di hari ini karena hewan peliharaannya. Milo masih di kursi roda. Dan Megan manusia paling available tiap kali urusan mendadak dan merepotkan dititahkan.

Mario sempat diomeli Mama tadi. "Yaampun kaki kamu kenapa lebam gitu??? Mau ikut-ikutan pakai kursi roda kamu?? Jangan harap! Jaga kaki kamu baik-baik! Kalau kenapa-napa kamu ngesot aja sana."

Tumben. Mama tidak menyalahkan Megan, mungkin karena Miura keburu turun dan menunjukkan diri seraya menjelaskan apa yang mereka alami di kamar. Mungkin betul salah Doni, atau salah lemari. Yang jelas bukan Megan. Mana mungkin mama bisa menyalahkan Megan di saat Satria, Sukma dan Belin juga menyaksikan.

"Megan, anterin ke Gilang ya."

Nah turunlah perintah itu. Miura sudah lebih dulu menunjuk hidung dan dagunya ketika Megan memandangnya. "Jangan gue," bisik Miura.

My Not So Perfect CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang