[39] Tuntas Pulang

1.5K 181 75
                                    


"Sudah ke beberapa tempat, bertemu macam-macam raga, mencipta banyak cerita, tapi urusan pulang tetap saja kembali ke diri sendiri."


...


Beberapa hari terlewati dengan muram. Permainan simulasi kejadian tak terduga bukan lagi jadi kenangan paling manis buat Megan. Megan merindukan permainan simulasi Papanya. Sampai setiap kali terjebak dalam situasi tak enak, Megan selalu menganggap semua hanya simulasi. Termasuk perkara patah hatinya dulu. Training kuat tidaknya mental.

Memori dari suatu waktu bangkit. Saat kabur dari rumah beberapa tahun lalu dan diteriaki Sukma pun, Megan berdalih sedang simulasi.

"Eh enggak, Suk! Gue gak kabur. Serius, ini gue lagi
survival. Bagian dari melatih diri kalau-kalau terjadi
bencana alam, apa aja hal penting yang kudu gue bawa. Simulasi."

"Menurut lo, sampai kapan ini kita bisa begini? Gak ada
yang abadi, Mi. Andaikan Mama dan Papa mendadak
dipanggil Tuhan, menurut lo apa yang bakalan lo
lakukan?"

Oke, yang terakhir itu sepertinya kalimat Mozza ketika menyerang Megan di suatu malam pertengkaran mereka. Sebelum akhirnya Mozza membuka kartu bahwa Megan adalah anak yang paling banyak menyita atensi Papa sekaligus paling besar porsinya dalam biaya hidup dan pendidikan.

"Megan, lo mau makan apa? Gue mau masak nanti malam. Kasian Mama, badannya panas. Demam."

Lamunan Megan buyar karena kemunculan si sulung. Mozza tidak pernah bertanya sebelumnya. Begitu pula sebaliknya, Megan tidak pernah request menu tertentu untuk disantap bersama.

"Apa aja, Kak. Nanti gue bantuin."

"Gak usah," tolak Mozza. "Gue mau masak sendiri. Kalian semua istirahat aja. Gue mau sendirian juga di dapur."

Mozza membalikkan badannya, terburu-buru melenggang ke dapur. Megan menangkap aura tak ingin dikejar, maka Megan membiarkan saja kakaknya menguasai dapur kali ini. Walau dulu Megan berharap Mozza bersikap seperti ini -sibuk sendiri tanpa menginterupsi dan menyuruh-nyuruh dirinya- dipunggungi oleh kakak sulungnya dalam situasi begini ternyata menyakitkan.

Megan tidak pergi ke tempat kerja selama berhari-hari. Miura juga sama, tidak berangkat kerja dan tidak melakukan banyak hal. Sementara Mozza menolak meninggalkan Mama sendirian. Lionel tidak keberatan, dibiarkan istrinya tetap di rumah ini tanpa protes. Kalau ada yang bertanya, mungkin mereka tidak tahu juga kenapa, satu sama lain jadi sibuk dengan pemikiran sendiri, mengerjakan sesuatu di rumah tanpa banyak suara dan merasa harus sarapan dan makan bersama di meja makan.

Sudah tiga hari ini Megan insomnia parah. Jauh lebih parah dari yang sudah-sudah. Kalau biasanya Megan baru dikuasa kantuk menjelang jam tiga dini hari, kini malah sama sekali tidak kunjung mengantuk. Tahu-tahu saja matahari sudah menerobos jendela kamarnya, Megan tidak akan bisa memejamkan mata jika kondisi kamar sudah terlalu terang.

"Kalian gak kerja?" Pertanyaan Mama mengarah khusus pada Megan dan Miura.

Dua yang bekerja pada orang lain langsung kompak menggeleng.

"Lho? Udah mau empat hari, bisa izin selama itu memangnya?"

"Bos aku baik, Mah," - Miura.
"Gak nafsu kerja," - Megan.

My Not So Perfect CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang