[40] Mantra Patah

1.6K 197 60
                                    



Megan membuka pintu rumah ketika dua pemuda datang ke teras rumahnya. Keduanya datang dengan tampilan kasual dan senyuman ramah.

"Permisi, Kak. Kita temennya Milo," satu dari mereka, yang mukanya cakep kelewatan dengan potongan rambut cepak memperkenalkan diri.

"Temen kuliah?" tanya Megan sambil mempersilakan mereka masuk.

"Kita satu SMA dulu, sekarang yang sekampus sama Milo cuma saya," jawab si cepak, "kenalin Kak, Hugo. Dan ini Igo."

Yang ditunjuk berambul keriwil dengan kacamata bertengger di hidungnya yang panjang dan beberapa bercak di wajahnya.

"Igo, Kak."

"Masuk aja, ke kamar Milo langsung ya. Kelamaan kalau nunggu Milo turun tangga pakai tongkat," saran Megan.

"Milo masih belum lepas tongkat, Kak?" tanya Hugo.

"Belum. Pen tulangnya juga belom dilepas."

"Oh. Kirain udah soalnya Milo bilang minggu depan mau langsung cari kerja hmmmpp—,"

Mulut Igo langsung ditutup oleh Hugo. Tapi Megan sudah menangkap dan paham dengan apa yang disampaikan Igo tanpa sengaja. Megan biarkan dua pemuda itu naik ke kamar Milo. Diam-diam Megan memikirkan kenapa Milo perlu kerja? Apa karena biaya? Kuliahnya aja belum selesai udah sok mau kerja.

Sepulang dua temannya, Megan langsung mendatangi adiknya itu dan tanpa prolog, tanpa permisi Megan langsung mengintrogasi.

"Lo mau kerja??"

Milo mendongak. "Iya?"

"Kenapa? Lo kan belom selesai kuliah."

"Mumpung cuti."

"Lo cuti karena kondisi kaki. Kalau udah sembuh ya kuliah lagi! Bukan kerja," gemas Megan.

Milo menatap bimbang pada kakaknya. "Gak kuliah lagi juga gak apa, Kak. Segini cukup. Mending cari duit langsung."

Megan menggeleng tegas. "Kalau lo bimbang perkara biaya, tenang aja, biaya pendidikan lo gak semahal gue dulu. Kampus lo negeri, bukan swasta kayak gue. Dan lo pinter, otak lo encer, tiap semesteran selalu dapat kuota beasiswa berprestasi kan?"

"Biaya lain-lainnya yang gue pikirin, Kak. Buat praktikum butuh dana lumayan besar. Kuliah teknik gak sesimpel kelihatannya. Buat nyusun skripsi pun gue perlu biaya," jelas Milo.

Apa yang Milo katakan itu fakta. Bukan alasan malas kuliah. Megan paham apa yang jadi beban pikiran Milo. Tapi tetap saja, sangat tidak layak merampas kesempatan menata masa depan kalau sebenarnya masih bisa diusahakan.

"Tabungan gue banyak lho," Megan mengakui dengan kalem. "Kak Mozza apalagi, banyak dia mah duitnya. Cuma kikir aja."

Milo melongo.

"Gue pernah beli rumah, cash. Cash tempo sih, 4 kali pelunasan. Bareng Sukma sama Raga memang. Sekarang rumah itu jadi milik mereka, rumah lama tempat tkp bunuh diri Ayah mereka dilelang. Pas laku, tiga puluh lima persennya balik ke gue. Mereka ganti kepemilikan gue dari situ."

"Kak, lo serius?"

"Seriuslah. Tapi kalau lo mau kerja juga gak papa, asal jangan berhenti kuliah. Lo itu cakep, pinter, itu privilege tau gak? Gak semua anak lahir bentukannya kayak lo gini. Lo bisa lebih bijak daripada berhenti kuliah. Ok?"

My Not So Perfect CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang