[19] Jendela Yang Terbuka (Gilang's POV)

1.9K 245 96
                                    


Gak bosen aku mengingatkan untuk vote dan komen. Gak aku suruh bayar lho, kalian baca ini gratis kan? Jadi mohon apresiasinya. Nulis itu mikir. Mikir itu berat. Sampe bikin laper. Laper itu harus makan. Makan perlu duit. Jadi di sini, aku yang keluar uang gaess 🙂 (iya aku tau kalian pengen ngelemparin aku pakai sepatu)

Selamat menikmati isi pikiran dan perasaan Gilang. Terima kasih banyak 💕

🥋🥋🥋

💾💾💾

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


💾💾💾



Sebagai anak sulung, gue harus memberi contoh yang baik buat adik gue. Dari kecil, Theo —adik gue— manja dan rakus banget. Rakus dalam arti sesungguhnya. Semua cemilan habis dilahap dia sendiri. Gak hanya itu, kalau nyokap goreng ayam, Theo bisa menghabiskan lebih dari seharusnya. Gue cuma bisa mangkel karena disisain sepotong doang. Kadang malah cuma bagian leher! Biasanya gue kunyah sambil membayangkan itu leher Theo.

Gue pernah protes ke bokap dan nyokap, tapi namanya anak kesayangan, Theo gak pernah diomelin sedikitpun. Malah kata nyokap, Theo harus banyak makan karena masih masa pertumbuhan. Actually, nyokap-lah yang harusnya disadarkan. Tiap kali perawat sekolah nulis catatan kaki tentang kesehatan Theo, beliau bersikeras kalau Theo yang buntal itu masih masa transisi anak-anak menuju remaja, sehingga wajar lemak bayi-nya masih kebawa-bawa. Lemak bayi dari alam baka! Mana ada lemak bayi segede itu.

Sampai akhirnya, Theo sakit. Banyak keluhan dan mulai susah untuk tidur dengan posisi normal. Kata dokter, Theo obesitas. Baru dah, mata nyokap kebuka lebar, selebar badan Theo. Theo dibatasi makan dan cemilannya diganti dengan yang sehat-sehat. Bagus, karena itu artinya jatah makanan buat gue aman sejahtera. Awalnya Theo ngeluh dan merengek minta cemilan, bokap yang kelewat sayang akhirnya beliin Theo PS-5, supaya Theo teralihkan pikirannya dari makanan. Selain itu, bokap juga beliin dia sepeda. Tapi ternyata sepedanya gak guna. Theo terlalu malas untuk olahraga.

Menjelang gue masuk SMA, tubuh tambun Theo udah lumayan mengecil, meski tetap kayak ikan buntal. Dan nasib gue masih jadi anak sulung yang sempurna dan teladan buat Theo. Nilai gue aman, kesehatan gue oke, dan prestasi gue cukup keren. Gue sangat suka kegiatan yang pakai fisik, makanya gue pilih karate sejak SD. Gue berhasil meraih sabuk hitam dan sering ikut kejuaraan. Tapi masalahnya, gue jadi gak punya waktu untuk main-main, pacaran misalnya.

Ada sih cewek yang gue taksir. Adik kelas gue, namanya Shania. Anak dancer. Seksi dan cantik banget. Gemesin dan sangat populer. Jadi mustahil suka sama gue yang ranking satu dan kebetulan, ehem, ketua Majelis Permusyawaratan Kelas. Pasti bagi Shania, gue cupu dan ngebosenin. Yaudah, gue cukup kagumi dari jauh aja.

Bisa dibilang, gue gak begitu suka cewek-cewek yang petakilan dan caper. Garis bawahi ya, yang ngejar gue banyak banget. Cuma ya itu, paling karena gue cakep atau butuh contekan. Sementara Shania, ngelirik gue juga enggak. Sial! Waktu Shania pacaran sama Ketos, gue akhirnya malah deket sama gebetan si Ketos, gue lupa nama lengkapnya, tapi semua manggil dia Winan. Winan tipe yang pendiem, alhamdullilah gak petakilan. Tapi kata Winan, dia gak mau pacaran. Mau fokus belajar. Padahal waktu itu gue gak ngajak dia pacaran, gue cuma bilang, dia pacar yang potensial. Maksud gue, buat si Ketos. Biar Winan bikin Ketos sama Shania putus gitu lho.

My Not So Perfect CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang