03- Diancam papa

676 93 22
                                    

Kini Elvano sudah berada di ruangan yang akan menjadi tempatnya bekerja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kini Elvano sudah berada di ruangan yang akan menjadi tempatnya bekerja. Dia mengamati ruangan itu, cukup luas batinnya, tidak buruk juga. Sebenarnya Elvano masih ingin bebas dan berfoya-foya, tapi papanya begitu memaksa agar Elvano berhenti dari kebiasaan lamanya dan focus bekerja.

"Elvano, papa harap kamu berubah menjadi lebih baik. Tinggalkan semua kebiasaan burukmu itu, yang suka berhura-hura dan bermain wanita. Focus bekerja, kamu satu-satunya harapan keluarga kita." Tuan Darius menasehati putranya.

"Iya, Pah!" jawab Elvano, asal mengiyakan saja.

"Bagus, awas saja kalau kamu macam-macam, papa akan tarik semua fasilitasmu, biar kamu jadi gembel dan ngerasain hidup susah itu kaya gimana." Kali ini Darius tidak main-main dengan ucapannya.

"Papa tega banget sama anak semata wayang sendiri juga." Elvano tidak percaya kalau papanya sekarang mengekangnya sampai seperti ini.

"Kali ini papa sangat serius, Elvano. Coba saja kalau kamu berani, kita lihat, apa kamu sanggup hidup tanpa fasilitas dari papa." Darius menantang putranya.

"Iya, Pah, Elvano nurut apa kata Papa," ujar Elvano pasrah.

"El, kenalin, ini Afifah. Dia yang akan menjadi sekertarismu, dia orang kepercayaan papa, kamu harus hargai dia dengan baik. Afifah itu anaknya Pak Umar, dia salah satu lulusan terbaik dari universitas di Singapura." Papa Elvano memperkenalkan Afifah padanya.

Seketika Elvano menatap Afifah dengan tatapan menelisik, dia melihat dari atas lalu ke bawah dengan tatapan malas. Tentu saja ditatap begitu Afifah merasa risih, apalagi Elvano adalah pria.

"Pah, yang bener aja, masa Papa kasih aku sekertaris modelan begini sih? Padahal kayanya tadi aku liat ada banyak yang cantik-cantik, modis, dan pakaiannya lebih menyenangkan." Elvano memprotes keputusan papanya secara terang-terangan, bahkan dihadapan Afifah secara langsung.

"Elvano, yang sopan kamu kalo ngomong. Hargai orang lain, justru alasan Papa memilih Afifah karena dia perempuan baik-baik yang gak mungkin kamu goda dan gak akan tergoda olehmu. Afifah juga orang yang kompeten, cerdas, sopan, dan perempuan baik-baik. Sekali lagi Papa denger kamu merendahkan, atau membuat Afifah susah, awas saja kamu!" ancam papanya.

"Papa kok lebih belain anak supir ketimbang anak sendiri." Elvano tentu saja merasa tidak terima.

"ELVANO! Pak Umar dan keluarganya itu sudah seperti keluarga kita sendiri, bisa-bisanya papa punya anak yang minus akhlak sepertimu." Pak Darius memijat kepalanya yang sakit, sementara Elvano hanya menghela napas pasrah. Dia tidak mau memancing kemarahan papanya lagi, jadi Elvano memutuskan untuk diam.

"Kalau begitu papa mau pergi ke kantor cabang dulu, nanti semua tugas kamu akan dibantu Afifah dan Pak Niko." Papa Elvano akhirnya ke luar dari ruangan Elvano.

Setelah itu Pak Niko mulai menjelaskan tentang pekerjaan Elvano yang sedikit banyak sudah Elvano ketahui dari sang papa. Karena beberapa minggu ini setelah kembali dari New York, Elvano ditraining langsung oleh sang papa.

***

Kini tiba saatnya menjelang makan siang, rupanya Elvano sudah bersiap pergi ke luar untuk menemui salah satu wanitanya. Memang pesona seorang Elvano tidak diragukan lagi, baru juga beberapa saat kembali ke Jakarta, tapi dia sudah memiliki beberapa wanita.

"Pak Elvano mau ke mana?" tanya Afifah memastikan.

"Mau makan sianglah, kamu gak liat itu jam berapa?" jawab Elvano dengan ketus.

"Tapi kita ada meeting sekaligus makan siang dengan klien hari ini." Afifah mengingatkan bosnya tentang jawal meeting siang ini.

"Astaga, jam istirahat aja disuruh kerja? Mana bisa gue makan dengan tenang, kalau harus mikirin kerjaan. Kapan gue istirahatnya? Kenapa lo gak bisa atur meetingnya habis makan siang aja. Kata papa gue, lo itu kompeten, tapi dilihat-lihat, lo kompeten dari mananya coba." Dengan nada mengejek, Elvano merendahkan Afifah. Kini dia sudah tidak lagi memakai bahasa yang sopan, apalagi formal.

"Klien yang minta meeting saat makan siang, Pak. Ini sudah disepakati oleh Tuan Darius sebelumnya." Afifah berusaha menjelaskan.

"Halah, banyak bacot, kalo gitu lo suruh aja papa gue yang meeting sana!" kesal Elvano.

"Astagfirullah, Pak Elvano, sekarang pemimpin perusahaan ini 'kan Bapak, bukan Tuan Darius lagi." Afifah mengingatkan Elvano sambil menahan kesalnya. Saking menyebalkannya Elvano, Afifah sampai istighfar.

"Berani banget lo ngatur-ngatur gue, di sini itu bosnya gue, bukan lo!" ujar Elvano sinis.

"Bukan saya ngatur, Pak, tapi—"

"Mentang-mentang lo dikasih kepercayaan sama papa gue, jadi sekarang lo seenaknya ngatur-ngatur gue. Ngaca dong, lo itu cuma anak supir yang diangkat derajatnya sama papa gue." Perkataan Elvano benar-benar tanpa filter, sejujurnya Afifah merasa sedih dihina dan direndahkan begitu, apalagi Elvano sampai membawa-bawa ayah Afifah dan merendahkan profesinya. Padahal profesi sebagai supir yang jujur itu mulia, Afifah sangat bangga pada ayahnya. Karena berkat kerja keras beliau, kini Afifah bisa menjadi seperti sekarang.

"Maaf, Pak Elvano. Saya sama sekali tidak ada maksud untuk mengatur, saya hanya menjalankan tugas saya sebagai sekertaris." Kini nada bicara Afifah sudah tidak selembut tadi, dia lebih tegas kali ini.

"Lagian kenapa sih, papaku harus menjadikan orang sepertimu sebagai sekertariku. Seumur hidup, aku selalu dikelilingi perempuan cantik, sexy, menarik dan pastinya, menyenangkan dipandang mata. Baru kali ini aku harus berurusan dengan orang yang tidak tahu dandan, tidak tahu fashion, tidak sexy, pakaianmu saja tertutup begitu sudah seperti ibu-ibu, sama sekali tidak menarik."

Elvano mengejek penampilan Afifah yang sederhana dan apa adanya. Memang, Afifah hanya tahu memakai bedak bayi tipis, dan pelembab bibir saja. Ayahnya selalu melarang Afifah untuk berias diri, beliau selalu bilang kalau perempuan sejatinya hanya boleh berdandan untuk suaminya saja, dan hanya dihadapan suaminya saja.

"Maaf, saya bekerja dengan otak, bukan dengan penampilan. Lagi pula, saya memang tidak berniat sedikitpun untuk menarik perhatian anda!" ujar Afifah dengan penuh penekanan.

"Lo—"

"Maaf, Pak, ini kantor. Saya harap cara bicara anda bisa sedikit lebih formal, atau setidaknya sedikit lebih sopan. Kalau karyawan lain mendengarnya, bukankah itu akan merusak citra anda?" ujar Afifah, menyela. Terlihat raut wajah Elvano merah padam menahan amarah, baru kali ini ada perempuan yang berani memprovokasinya seperti ini.

Selama ini para wanita malah berlomba-lomba mendekatinya. Mereka bahkan secara sukarela ingin menjadi salah satu kekasihnya, atau sekedar untuk dekat dengannya. Tapi tentu saja Elvano tidak sembarangan memacari, apalagi meniduri perempuan. Tidak semua dia pacari, apalagi tiduri. Beberapa hanya dijadikan teman kencan disaat bosan, ada juga yang hanya dijadikan pemuas hasrat meski tidak tidur bersama.

Elvano mudah bosan, tentu saja kalau dia sudah bosan dengan wanita yang dikencani atau dipacarinya, lelaki itu akan membuangnya begitu saja. Seperti kata pepatah, habis manis, sepah dibuang. Itulah Elvano Rafardhan Effendi, pria playboy yang menganggap perempuan seperti sebuah benda atau mainan saja.

"Kalau kamu memang cerdas dan bekerja dengan otak, seharusnya kamu bisa menghandle meeting ini sendirian tanpa saya." Setelah mengatakan itu Elvano ke luar ruangan, sama sekali tidak mendengarkan Afifah yang berlari mengejar dan membujuknya untuk ikut meeting.

"Pak, tunggu. Pak Elvano!" pekik Afifah yang kini sudah ditinggalkan di parkiran kantor. Elvano sudah pergi dengan mengendarai mobilnya untuk makan siang bersama salah satu pacarnya.

Lanjut?
Vote komen jangan lupa!

Karma Bos Playboy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang