Pagi ini Elvano sudah menuju ke rumah Afifah untuk sarapan bersama, dia sudah rapih mengenakan kemeja dan jasnya.
"Loh, Pak Umar sama ibu kamu ke mana?" tanya Elvano sambil celingak-celinguk karena sepi.
"Ih, Bapak gimana sih, berapa kali saya bilang, kalau mau masuk ke rumah orang, baik itu datang atau pergi, jangan lupa ucap salam." Bukannya menjawab, Afifah malah langsung mengomeli Elvano karen pria itu tadi asal nyelonong masuk saja tanpa mengucapkan salam.
"Astaga, masih pagi aja kamu udah ngomel."
Elvano menatap Afifah sambil memegangi kepalanya, bisa-bisanya dia memiliki sekertaris yang tukang ngomel, ngatur, pengadu, tukang mengancam, dan cerewet seperti Afifah. Tapi mau bagaimana lagi, ia terpaksa harus menurut pada gadis itu.
"Biarin," balas Afifah.
"Assalamualaikum, Afifah bawel yang hobinya ngomel-ngomel."
Elvano mengucapkan salam sambil meledek Afifah, membuat gadis itu menatapnya sambil menghela nafas.
"Waalaikumsalam," jawab Afifah.
"Kasihan banget pacarmu, harus tebel kuping ngadepin cewek bawel macam ini."
Elvano menatap Afifah sembari menyindirnya, tapi gadis itu malah tertawa sambil menunduk.
"Haha, sayangnya saya tidak punya pacar, dan saya juga tidak memiliki niat untuk berpacaran. Meskipun saya gadis yang jauh dari kata baik, tapi saya hanya mau langsung menikah saja apabila bertemu dengan pria sholeh yang setia, bertanggung jawab, serta mau membangun keluarga bersama saya."
Afifah menjelaskan sesuatu yang membuat Elvano tercengang untuk sesaat. Cukup aneh kala mendengar prinsip Afifah yang tidak mau berpacaran, dan memilih untuk langsung berkomitmen saja. Sedangkan Elvano adalah kebalikan dari Afifah, dia sangat suka mengoleksi banyak pacar, dan menggantinya saat bosan. Elvano juga tidak suka berkomitmen dengan serius, dia lebih suka bebas dan bermain-main.
"Dasar naïf, kalau begitu caranya, bagaimana bisa kamu yakin dan menemukan pria yang benar-benar tepat." Elvano mengejek.
"Tidak perlu harus berpacaran juga untuk bisa mengenal lebih dekat, ada banyak cara salah satunya ta'aruf mungkin." Afifah menjelaskan.
"Huh, terserah. Ngomong-ngomong Pak Umar dan istrinya di mana?" tanya Elvano
"Ayah sama ibu lagi pergi ke luar, tadi pagi sekali ada telepon dari rumah sakit yang mengabarkan kalau paman dari ibu kecelakaan. Jadi pagi ini kita sarapan berdua aja, gapapa 'kan, Pak?" Afifah menjelaskan.
"Oh, gitu. Ya, gapapa." Elvano hanya ber-oh ria sembari duduk di kursi.
"Kamu masak apa sih, Fah?" tanya Elvano
"Nasi goreng, soalnya waktunya udah mepet." Afifah mengambilkan nasi dan menaruhnya ke dalam piring untuk Elvano.
"Halah, masa sarapan cuma kaya gini doang. Masih mending ibu kamu yang masak, setidaknya ada beragam variasi." Elvano berdecak.
"Gak boleh protes di depan makanan, udah buruan dimakan sarapannya, Pak." Afifah malah mengomeli protes dari Elvano.
"Kamu belum jadi ibu-ibu aja udah hobi ngomel mulu, gimana nanti kalau udah jadi ibu-ibu beneran. Saya sih kasihan sama suami kamu!" cibir Elvano, membuat Afifah mendengus sebal.
"Saya malah kasihan sama istri Bapak nanti, udah suaminya gak bisa serius kerja, hobinya bikin orang ngomel, suka foya-foya, suka main-main lagi sama banyak cewek. Pak, jangan diterusin, takutnya nanti kena karma gimana?" ujar Afifah, balik mencibir Elvano.
"Hidup-hidup saya, terserah saya dong. Lagian saya sama sekali gak kepikiran tentang pernikahan. Ribet, harus komitmen lah, menjaga perasaan, dan banyak hal ribet lainnya. Kalau bisa melajang dan tetap hidup senang, buat apa menikah?" ujar Elvano yang memiliki prinsip berkebalikan dengan Afifah.
"Apa Bapak gak kepikiran tentang anak? Tentang bagaimana nanti hari tua Bapak? Siapa yang urus?" ujar Afifah.
"Menikah aja gak ada kepikiran, apalagi kepikiran punya anak, lebih ribet lagi. Udah sih, pagi-pagi gak usah bahas hal yang gak penting kaya gini, bikin jadi gak nafsu makan aja."
Elvano benar-benar tipikal orang yang terlalu suka kebebasan, tentu saja hal seperti itu tidak bagus. Afifah hanya bisa menghela napasnya, seraya berdoa di dalam hati agar jodohnya kelak dijauhkan dari sifat-sifat seperti sifat bosnya.
Keduanya menghabiskan sarapan dalam diam, kemudian setelahnya bersiap untuk berangkat bekerja setelah sopir yang dikirimkan oleh Tuan Darius menjemput mereka.
***
"Pak, makan siang kali ini kita ada meeting dengan Nugraha Company." Afifah memberitahu jadwal bosnya.
"Kebiasaan deh, kenapa meeting harus jam makan siang?" kesal Elvano yang ingin bermalas-malasan saat jam istirahat.
Memang benar kalau Elvano sudah sedikit banyak berubah, dia benar-benar menepati janjinya pada orangtuanya untuk tidak menemui para wanitanya. Elvano juga sudah tidak pernah lagi nongkrong dengan teman-temannya di club malam. Dia kini disibukan dengan pekerjaan, lalu sepulang kerja dia juga harus pergi mengaji. Tapi tetap saja, Elvano tidak mungkin langsung berubah seratus persen.
"Tapi Tuan Aldric maunya meeting pas jam makan siang. Sudahlah, Pak, kalau kerjasama kita berjalan baik dengan beliau, itu akan menguntungkan juga untuk perusahaan kita. Dan kalau itu terjadi, Tuan Darius pasti akan senang. Bukankah ayah Anda berjanji akan mengembalikan semua fasilitas setelah melihat perubahan dari Bapak? Semakin cepat Bapak berprestasi di perusahaan, semakin cepat Bapak belajar mendalami agama, semakin Bapak berubah ke arah yang lebih baik, maka akan semakin cepat pula Bapak mendapatkan kembali fasilitas yang ditahan oleh Tuan Darius." Afifah mengingatkan serta memberikan semangat untuk Elvano.
"Huh, menyebalkan, baiklah, mau bagaimana lagi." Elvano hanya bisa menghela napas pasrah.
Mereka bergegas pergi ke tempat janjian dengan klien untuk makan siang bersama sekaligus membahas proyek kerjasama.
"Terimakasih, Tuan Aldric, karena sudah mau mempercayai perusahaan kami untuk bekerja sama." Elvano menjabat tangan CEO dari Nugraha Company.
"Sama-sama. Oh, iya, saya mengundang kalian untuk datang ke pesta yang saya adakan besok malam di rumah." Aldric balas menjabat tangan Elvano, dia bahkan mengundang Elvano dan Afifah untuk datang ke pesta yang diselenggarakan di rumah CEO muda itu.
"Terimakasih atas undangannya, saya dan sekertaris saya akan usahakan untuk datang." Elvano menerima undangan dari Aldric dengan senang hati.
"Kalau begitu saya permisi, sampai bertemu lagi." Aldric berpamitan pergi bersama sekertarisnya.
"Lumayan diundang ke pesta, jadi gak makan nasi goreng kamu melulu, mana rasanya gak enak!" cibir Elvano.
Padahal sebenarnya rasa masakan Afifah tidak buruk, bahkan masuk kategori enak. Hanya Elvano saja yang berbohong, dia gengsi mengakui rasa masakan Afifah itu enak.
"Dih, katanya gak enak, tapi nambah!" balas Afifah.
"I-itu 'kan karena saya laper!" ujar Elvano terbata sambil mencari alasan.
"Aslinya pasti karena masakan saya enak, tapi Bapak aja yang gengsi buat mengakui." Afifah cekikikan meledek bosnya.
"Udah, gak usah ngeledek. Sekarang kita kembali ke kantor." Elvano berjalan lebih dulu meninggalkan Afifah karena kesal diledek oleh sekertarisnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma Bos Playboy
RandomElvano Rafardhan Effendi, anak tunggal dari seorang konglomerat yang berdarah campuran Indonesia-Amerika. Pria itu tumbuh menjadi sosok playboy yang suka bergonta-ganti pasangan, bahkan dia beberapa kali tidur dengan perempuan berbeda. Wajah tampan...