"Pak, bagaimana kondisi Bapak saat ini? Apa sudah jauh lebih baik?" ujar Afifah basa-basi.
"Yah, saya rasa besok bisa berangkat kerja," jawab Elvano.
"Hus, ngawur kamu, gak bisa. Papamu juga pasti tidak akan mengijinkannya, kamu 'kan belum sembuh, kakimu saja masih sakit begitu." Maria langsung memprotes jawaban dari putranya tadi.
"Mah, aku 'kan seorang pria, aku juga sekarang seorang pemimpin di perusahaan besar keluarga kita. Masa aku manja, sakit segini aja gak masuk kerja berhari-hari. Aku harus memberikan contoh yang baik bagi mereka, aku juga punya tanggung jawab besar pada perusahaan!" ujar Elvano.
"Subhanallah, Pak Elvano sekarang sudah jadi lebih dewasa!" puji Afifah.
"Mantap, Bro!" ujar Bintang.
"Mama gak tahu apa yang terjadi sama kamu sehingga bisa berubah drastis begini. Padahal yang ketembak dan terluka itu lengan sama kakimu, bukan kepalamu. Tapi ini sesuatu yang bagus, mama sangat senang, mama yakin papamu juga sama senangnya."
Maria terharu dengan perubahan putranya yang kini semakin baik. Dia berharap kalau kali ini Elvano benar-benar sadar dan tidak kembali pada kebiasaan lamanya.
"Kalau begitu mama tinggal dulu, ya, mama akan suruh bibi mengantar minuman dan cemilan ke sini." Maria ke luar dari kamar Elvano.
"Ini dokumen yang harus diperiksa dan ditanda tangani, Pak." Afifah memberikan beberapa dokumen pada Elvano.
"Oke, kamu duduk aja dulu di sofa itu," ujar Elvano.
Di kamar itu memang ada sofa dan meja, kemudian Afifah berjalan menuruti perintah Elvano. Tentu saja Bintang mengikutinya di belakang, dia ikut duduk di sebelah Afifah meskipun tentu saja ada jarak diantara.
"Fah, kamu ingat teman kita Fajira yang dari Malaysia itu?" tanya Bintang saat mereka tengah menunggu Elvano memeriksa dokumennya.
"Oh, Fajira, aku inget dong. Memangnya kenapa dengan Fajira, Bintang?" tanya Afifah balik.
"Tunggu, apa tadi saya gak salah dengar? Kamu manggil Bintang dengan namanya saja?" tanya Elvano yang ternyata sejak tadi diam-diam ikut menyimak obrolan mereka.
"Iya, Pak. Saat ini 'kan Bintang bukan dalam posisi pekerjaan, dan kami memang sejak dulu berteman. Kalau nanti kami dalam posisi bekerja, misalnya meeting untuk projek kerjasama atau apapun itu, baru saya manggil Bintang dengan sebutan tuan." Afifah menjawab dengan santai.
"Terus kenapa kamu malah selalu ngomong formal sama saya walaupun di luar kerjaan? Kamu juga selalu pakai manggil saya bapak, padahal saya belum tua, dan saya bukan bapak kamu." Elvano memprotes rasa tidak adil yang dia rasakan.
"Tapi Pak Elvano 'kan bos saya," jawab Afifah.
"Iya, lagian loe sama Afifah 'kan gak seakrab itu, bakalan aneh dan canggung dong buat Afifah manggil nama loe meskipun di luar pekerjaan. Kalau gue sama Afifah itu udah kenal lama, kita juga teman."
Bintang ikut menimpali, hal itu membuat Elvano semakin kesal. Rasanya seolah Bintang mengatai kalau Elvano tidak akrab dengan Afifah, dan Bintang lebih akrab dengannya.
"Jadi maksudnya loe mau bilang kalau Afifah lebih deket sama loe dibandingkan gue, gitu?" sindir Elvano.
"Loh, kenyataannya 'kan memang begitu!" ujar Bintang santai.
"APA? Hei, loe lupa, gue setiap pagi sarapan sama Afifah dan keluarganya, kalau malam juga gue makan malem bareng mereka. Memangnya loe kenal sama keluarga Afifah? Enggak 'kan? Sedangkan gue deket sama mereka. Kalau dihitung-hitung, hampir dua puluh empat jam gue selalu bareng Afifah. Di kantor 'kan dia sekertaris pribadi gue." Elvano membuat Bintang kehilangan kata-katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma Bos Playboy
RandomElvano Rafardhan Effendi, anak tunggal dari seorang konglomerat yang berdarah campuran Indonesia-Amerika. Pria itu tumbuh menjadi sosok playboy yang suka bergonta-ganti pasangan, bahkan dia beberapa kali tidur dengan perempuan berbeda. Wajah tampan...