Bertemu

347 66 7
                                    

“Terkadang sesorang memerlukan teman untuk berbagi masalahnya, selain mengadu pada penciptanya.

Atau mungkin dengan cara berteriak di tempat sepi sambil mengeluarkan unek-uneknya akan sedikit membantu melegakan hatinya yang penat.”




BAB 11


Hari ini kebetulan Bagas pergi ke bandung, dia menginap di salah satu Villa disana. Niatnya pergi kesana adalah untuk meninjau salah satu projek supermarket yang dia bangun di area puncak tersebut. Bagas juga berencana membuat Villa untuk bisnis sekaligus sebagai tempatnya berlibur.

“Dari pada di rumah pusing di tanyain calon mulu, mending jalan-jalan disini. Udaranya sejuk dan menenangkan, jadi teringin lama-lama tinggal disini.” Ujar Bagas saat dirinya tengah berjalan-jalan sendirian tanpa di temani sekertarisnya.

Dulu sekertaris Bagas perempuan, tapi Bagas merasa risih karena mereka centil dan kerap kali menggodanya. Mungkin karena para sekertarisnya dulu mendapatkan dukungan dari orangtuanya untuk menggoda Bagas jadi mereka lebih berani. Akhirnya karena beberapa kali berganti sekertaris, kini dirinya memilih pria sebagai sekertarisnya maupun asisten pribadinya.

Sementara itu, Kanaya yang juga sedang beristirahat setelah melakukan survey lapangan bersama Rasyid. Memutuskan pergi berjalan-jalan sendiri untuk menikmati suasana tenang dan sejuk disana. Sementara itu Pak Rasyid memilih beristirahat di Villa sambil membuat catatan tentang rencana apa yang bagusnya di lakukan disana.

Kanaya menemukan sebuah tempat sepi seperti bukit yang bisa melihat pemandangan indah dari sana. Karena letaknya yang berada di puncak membuat Kanaya bisa melihat pemandangan pepohonan bahkan perumahan di bawah. Apalagi kalau malam hari, pasti terasa indah memandangi bintang dari sana.

“Kaya nya enak nih kalau teriak disini, kebetulan rasanya penat banget. Dari kapan tau pengin cari tempat sepi buat teriak dan mengeluarkan unek-unek. Tapi sayangnya gak nemu, kebetulan tempat ini sesuai banget.” Ujar Kanaya girang.

Kanaya menarik napasnya dalam-dalam, dia bersiap untuk berteriak. Dulu saat kecil dia suka berteriak untuk menghilangkan rasa kesal atau unek-unek dalam dirinya. Perlahan bayangan hal-hal yang tidak menyenangkan terbayang dalam dirinya.

“AAAAAA!!! Kenapa sih dunia muternya kecepetan, kenapa sih menjadi dewasa begitu menyebalkan!” dia mulai mengeluarkan unek-uneknya.

“Kenapa seolah di hidup gue gak ada yang beres, mimpi gue kandas, hal yang gue suka selalu dianggap tabu, kesenangan gue mereka anggap sesuatu yang salah. Memangnya kenapa kalau masih ingin berkarier dan belum siap menikah, memangnya kenapa kalau teman dan saudara udah nikah? Apa pernikahan itu lomba lari?” satu persatu keluh kesahnya dia curahkan.

“Kenapa orang suka banget ngurusin dan ngatur hidup orang lain sih, gue aja gak minta makan sama mereka, gue juga gak peduli sama kehidupan mereka. Kenapa makin dewasa makin kesepian, seolah seluruh dunia gak ada yang mendukung gue. Bahkan keluarga gue sendiri yang gue anggap sebagai rumah ternyaman aja selalu maksa gue. Kalau bisa milih juga dulu mending gue milih gak di lahirin sekalian. Biar gue gak jadi beban buat mereka, dan biar gue juga gak terbebani.”

“Gue masih dua puluh empat tahun, memangnya kenapa kalau masih jomblo? Apa jomblo itu haram? Kenapa semua orang kaya gitu sih, gue benci semuanya!”

Kanaya menghapus buliran air mata yang terjatuh, dia merasa sedikit lega telah mencurahkan segala unek-uneknya. Namun siapa sangka, sedari tadi di belakangnya ada seorang pria yang tercengang karena tidak sengaja mendengar curahan hati Kanaya di bukit itu.

“GUE BENCI, GUE MARAH, KENAPA MENJADI DEWASA ISINYA MASALAH DOANG.” Kini dia berteriak sampai suaranya serak.

“Ehem..”

Kanaya langsung menoleh kebelakang karena kaget, ada suara seorang pria yang berdehem di belakangnya. Sosok pria berbadan kekar dan tinggi dengan kaos panjang berwarna hitam yang terlihat kontras dengan kulit putihnya, seketika membuat Kanaya kaget. Wajahnya yang tampan serta aura yang terpancar membuat pria itu seperti artis.

“M-maaf, aku pikir tadi gak ada orang.” Ujar Kanaya tidak enak hati.

“Tidak apa-apa, siapa namamu?” Tanya pria itu.

“Kanaya.” Jawab Kanaya.

“Perkenalkan, nama saya Bagaskara. Panggil saja Bagas.” Ujar Bagas memperkenalkan diri.

Bagas merasa perempuan di depannya memiliki masalah yang sama seperti dirinya, cara pandangnya juga sama seperti Bagas.

“Sepertinya kamu juga bukan warga asli sini, kamu berasal dari mana?” Tanya Bagas penasaran.

“Aku dari Jakarta, aku kesini sedang melakukan peninjauan tempat untuk acara reflesing anak murid ku.” Jawab Kanaya.

“Kamu seorang guru?” ujar Bagas tak menyangka.

“Iya, tapi masih honorer sih.” Jawab Kanaya sambil cengengesan.

“Tidak apa-apa lah, guru itu pekerjaan yang mulia. Pahlawan tanpa tanda jasa, ngomong-ngomong kamu mengajar di sekolah mana? Saya juga berasal dari Jakarta.” Ujar Bagas tulus.

“SMA Nusa Bangsa, kamu sendiri sedang ada perlu apa disini?” Tanya Kanaya.

“Saya juga sedang meninjau lokasi untuk proyek yang akan di kerjakan oleh perusahaan tempat saya bekerja.” Jawab Bagas.

Dia tidak memberitahu Kanaya bahwa dirinya adalah seorang CEO pemilik sebuah perusahaan yang terbilang cukup besar di kota mereka.

“Wah, hebat sekali. Kamu bekerja di perusahaan apa?” Tanya Kanaya penasaran.

“CV Makmur jaya abadi.” Jawab Bagas.

“Itu kan perusahaan besar, hebat sekali kamu bisa bekerja disana.” Ujar Kanaya antusias.

“Kamu tau tempat saya bekerja?” Tanya Bagas.

“Tau lah, temanku ada yang bekerja disana. Sepupuku juga ada yang bekerja disana, tau tidak setiap kali bertemu mereka selalu membanggakan diri bisa bekerja disana. Belum lagi katanya karyawannya tampan-tampan, sepupuku sering menyanjung-nyanjung atasannya alias si pemilik perusahaan itu.” Ujar Kanaya antusias karena teman dan sepupunya seringkali bercerita tentang enaknya bekerja di perusahaan di bandingkan Kanaya yang memilih menjadi guru honorer.

“Oh ya? Apa yang mereka ceritakan memangnya.” Tanya Bagas penasaran.

Entah mengapa Bagas yang biasanya dingin, cuek, pendiam dan malas jika berdekatan dengan wanita. Kini dia merasa santai, bahkan nyaman berbicara dengan Kanaya. Padahal mereka baru saja kenal. Tapi menurut Bagas, Kanaya adalah tipe gadis yang ceria,blak-blakan, supel, ramah, mudah bergaul, dan menyenangkan. Buktinya Bagas yang baru bertemu saja bisa merasa santai begini saat berbicara dengan Kanaya.

Begitu pun sebaliknya, Kanaya yang biasanya canggung jika bersama orang baru. Kini dia bisa santai berbincang dengan Bagas, rasanya seperti mereka sudah saling mengenal lama.

“Kata sepupuku dan temanku sih pemilik perusahaan itu masih muda, sangat tampan dan pekerja keras. Dan katanya sih belum memiliki istri, yang hebatnya lagi mereka bilang kalau dulunya perusahaan itu hanyalah perusahaan kecil yang nyaris bangkrut. Tapi anak dari si pemiliknya ini bekerja keras di usianya yang masih sangat muda untuk memajukan kembali bisnis orangtuanya itu. Dengan kegigihannya, dia bisa mengembangkan perusahaan itu bahkan sampai sebesar sekarang.” Ujar Kanaya menceritakan apa yang selalu teman dan sepupunya ceritakan saat mereka bertemu.

Sepupu yang Kanaya maksud bukanlah Fera, melainkan Nina yang usianya memang lebih muda di banding Kanaya karena usia Nina saat ini baru 22 tahun. Nina sudah bekerja di perusahaan itu sejak pertama kali dirinya lulus kuliah di umur 21 tahun.

TBC

Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentarnya 🥳 Terimakasih 💓

Kapan nikah? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang