OTW

358 65 9
                                    

“Jangan terlalu percaya, bersandar atau berharap kepada manusia. Sejatinya manusia hanya bisa memberikan kecewa.

Percaya, berharap dan bersandar saja pada sang pencipta. Karena tidak mungkin Allah akan mengecewakan kita.”
.
.
.
.

BAB 19

Seketika setelah kepergian Kanaya dengan segala ungkapan isi hatinya, kedua orangtua Kanaya menjadi terdiam. Melihat anak bungsunya sampai menangis sedih seperti itu membuat mereka tidak tega. Mereka jadi sedikit sadar untuk tidak terlalu menekan Kanaya, karena biar bagaimana pun juga Kanaya hanyalah manusia biasa yang juga bisa merasakan sakit hati.

“Pak, apa kita sudah keterlaluan pada Kanaya?” Siska bertanya pada suaminya.

“Bapak rasa iya, biarkan Kanaya menenangkan diri. Sebaiknya kita jangan terlalu menekan Kanaya mulai sekarang.” Jawab Wijaya.

Mereka merasa bersalah pada anaknya, mereka tidak menyangka bahwa Kanaya akan memiliki pemikiran demikian. Akhirnya kedua orangtuanya membiarkan Kanaya menenangkan diri di kamarnya.

“Hiks.. lagi-lagi semua orang selalu menyudutkan gue, emang salah gue kalau sampai sekarang belum menikah? Emang salah gue kalau jodoh gue belum datang, apa semuanya salah gue karena gue gak bisa langsung sreg aja sama orang. Seolah gue yang terlalu pemilih atau jual mahal, padahal namanya cari pasangan untuk sekali seumur hidup jelas lah harus pemilih.” Kanaya menyeka air matanya.

Tanpa terasa dirinya tertidur bahkan saat belum makan, rasa laparnya tertutupi rasa kecewa dan sakit di dadanya mengingat perlakuan orang lain yang disebut keluarga. Bisa-bisanya mereka menggunjing saudaranya sendiri, inilah alasan Kanaya malas dekat dengan orang. Kita memang tidak boleh terlalu berharap pada orang lain, karena manusia tidak boleh di jadikan sandaran. Cukup kita bersandar dan berharap kepada sang pencipta.

***

Pagi ini Kanaya seperti biasa sarapan bersama kedua orangtuanya, namun keadaan terasa jauh lebih canggung dari biasanya. Mungkin karena kejadian kemarin membuat mereka merasa canggung satu sama lain.

“Bapak, mama. Kanaya pamit berangkat kerja dulu yah, assalamualaikum.” Pamit Kanaya sambil mencium tangan kedua orangtuanya.

“Iya nak, hati-hati dijalan. Waalaikumsalam.” Jawab Bapak dan mamanya.

Kanaya berangkat dengan motor matic nya menuju ke sekolah, namun anehnya ternyata Abigail sudah berdiri di sana lagi. Berdiri di tempat kemarin saat muridnya itu menghentikannya dan meminta tebengan ke sekolah.

“Loh, Abigail. Kok kamu ada disini lagi?” tanya Kanaya saat dia menghentikan motornya di depan Abigail yang sedang tersenyum kearahnya.

“Iya bu, hari ini saya nebeng lagi yah?” pinta Abigail memohon.

“Memang rumah saudara kamu yang mana? Siapa namanya?” tanya Kanaya penasaran.

“Itu lah bu, em.. ya itu. Udah yuk bu berangkat, nanti telat ke sekolah.” Abigail gelagapan dalam menjawab pertanyaan dari Kanaya, dia malah langsung memutuskan naik kemotor gurunya padahal belum di ijinkan.

Akhirnya Kanaya hanya bisa diam dan melajukan motornya sampai ke sekolah, lagi-lagi banyak siswa-siswi yang heboh melihat Abigail yang berangkat bersama gurunya.

“Besok-besok gak ada tebengan lagi ya Abi, fans kamu jadi menggunjingi ibu loh dari kemarin.” Protes Kanaya.

Selama ini memang Kanaya suka memberikan tebengan pada sesame guru atau anak muridnya, dengan catatan searah dengannya. Tapi selama dia memberikan tebengan pada yang lain, respon anak muridnya tidak seheboh seperti saat dirinya memberikan tebengan kepada Abigail. Mungkin karena popularitas dan fans Abigail yang terbilang sangat banyak, dari kelas satu sampai kelas tiga. Bahkan beberapa senior yang sudah kuliah saja banyak yang menjadi fans dari sianak tengil satu itu.

Kapan nikah? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang