“Jika kamu peduli atau kasihan, maka doakan bukan menggunjing di belakang. Jika kamu ingin menasehati yang baik dan untuk tujuan yang baik, maka lakukanlah dengan cara baik-baik.
Bukan dengan menghina, merendahkan,menghujat atau bahkan mempermalukan.”
.
.
.
.
.
BAB 17
Kanaya merasa ini semua tidak adil, mengapa seolah anak itu adalah beban orangtua. Mengapa hampir semua orangtua berprinsip bahwa ketika anak gadisnya menikah maka bebannya akan berkurang dan hidupnya menjadi lega. Apalagi kalau sakit, mereka tidak berfikir apa dengan mereka memikirkan itu secara terus-terusan bagaikan beban malah membuat dirinya bertambah sakit.
Padahal Kanaya juga tidak pernah minta untuk di lahirkan, Kanaya tidak mau lahir malah dianggap sebagai beban begini. Kanaya juga mau membahagiakan orangtuanya dengan menuruti keinginan mereka.
Tapi Kanaya bisa apa, semua sudah diatur oleh sang pencipta. Semua punya takdir dan jalan ceritanya sendiri, semua punya waktunya sendiri. Tapi mau di jelaskan bagaimana pun mereka tidak akan mengerti. Yang mereka lakukan hanya memaksa orang lain mengikuti standar yang di jadikan acuan oleh kebanyakan masyarakat. Dan apabila ada yang tidak sesuai dengan standar mereka maka akan dianggap aneh bahkan dianggap seperti sesuatu yang hina.
Ingin sekali Kanaya mengatakan apa yang menjadi isi hatinya, tapi logikanya menahannya. Pasti nanti dia akan dianggap tidak sopan pada orangtua, padahal banyak juga orang tua yang tidak sopan pada anak muda bahkan salah. Tapi di masyarakat tidak ada kamus orangtua durhaka, orangtua salah, atau orangtua tidak sopan. Mereka mewajarkan semua itu, walau orangtua menyakiti hati yang lebih muda tapi tetap saja kan yang muda yang harus meminta maaf.
Memang sudah begitu adanya, jadi Kanaya bisa apa selain hanya bisa menerima? Sudahlah, jalani saja batinnya.
Akhirnya mereka mulai memasak dan mempersiapkan hal lain, tapi setiap ada kesempatan tetap saja Kanaya menerima sindiran atau berupa gunjingan yang tidak sengaja di dengarnya.
“Kasihan ya jeng Siska sama mas Wijaya, anak tinggal satu tapi belum nikah-nikah.”
Tante Kanaya sedang berghibah bersama sang budhe di belakang karena tadi Kanaya selalu di kamar Fera menemaninya di rias dan mamanya sibuk menyiapkan dekor di ruang tamu. Tapi kebetulan Fera haus dan Kanaya berinisiatif mengambilkan minum kebelakang, tapi dia malah mendengar sesuatu yang tidak mengenakan hati.
“Iya yah jeng, itu si Kanaya gimana sih apa mau jadi prawan tua apa gimana. Masa udah umur 24 tahun belum nikah juga, padahal kan teman-teman seumurannya udah pada nikah.” Budhe Kanaya menimpali.
“Padahal Bapaknya kan sakit-sakitan yah, harusnya mah buruan nikah. Masa belum ada yang mau sih sama dia, padahal dulu saya waktu muda banyak banget yang pengin melamar tapi saya tolak-tolakin dan akhirnya saya malah memilih bapaknya anak-anak.” Tante Kanaya malah membanggakan dirinya sewaktu muda.
“Sama jeng, aku malah dulu dikejar-kejar banyak cowok sampai pusing milihnya. Bahkan aku dulu jalan sama bapaknya anak-anak padahal masih jadi pacarnya kakak kelas ku.” Budhenya ikut-ikutan membanggakan diri.
“Tapi ya gimana, si Kanaya aja kaya nya belum pernah pacaran tuh. Dia aja gak deket sama siapa-siapa, gimana mau nikah coba.” Ejek tantenya.
Sungguh kalau hati Kanaya tidak sekuat sekarang, pasti saat ini air matanya sudah menetes. Tega sekali mereka menggunjingi saudaranya sendiri di belakang. Apakah definisi saudara seperti ini? Bukannya kalau saudara itu yang satu sedang senang kita ikut senang, kalau ada yang sedih kita ikut sedih. Bukannya malah menggunjing di belakang dan menghujatnya. Jika mereka kasihan atau sayang sebagai saudara seharusnya mereka mendoakan Kanaya, bukan malah menggunjingi dan mengejeknya di belakang.
Seumur-umur Kanaya tidak pernah yang namanya mengurusi hidup orang lain, apalagi mengomentari dan menghujatnya. Dia juga tidak pernah iri ataupun dengki apabila orang lain bahagia dan sukses, dia justru ikut senang. Tetangganya beli mobil saja dia ikut senang, tapi beberapa tetangga ada yang menggunjing katanya hasil kredit lah, gitu doang sombong lah. Padahal kan mau kredit atau bukan itu hak dia, hidup-hidup dia dan dia juga tidak meminta mereka untuk membayarkan tagihan kreditnya.
Saudaranya tertimpa masalah dia ikut sedih, saudaranya sukses dia ikut senang. Dia tidak pernah yang namanya menggunjingi atau mengomentari masalah hidup saudaranya. Jika saudaranya susah dia akan mendoakan bukan malah menggunjingkan.
Sudahlah, memang prinsip orang berbeda-beda. Tapi Kanaya tetap akan berbuat baik walau dirinya tidak di perlakukan dengan baik. Akhirnya Kanaya diam-diam mengambil minum, bahkan mereka tidak sadar kalau ada orang lain selain keduanya yang berada disana dan mendengarkan pembicaraan mereka. Bahkan orang itu adalah orang yang sedang mereka bicarakan.
Akhirnya Kanaya pergi sambil membawa minum ke kamar Fera, dia menarik nafasnya dalam-dalam. Walau Kanaya tidak melakukan pekerjaan yang berat, tapi rasanya lelah sekali. Ingin sekali Kanaya pulang kerumah dan merebahkan tubuhnya di kasur. Tapi dia mencoba kuat demi Fera, coba kalau sepupu yang lain yang tunangan saat ini pasti Kanaya lebih memilih absen saja seperti biasanya. Tapi karena ini adalah Fera, saudara yang sangat akrab dengannya maka dari itu dia melawan ego dan rasa lelahnya hanya karena Fera.
“Fer, kaya nya aku gak bisa sampai malam deh soalnya aku agak pusing dan aku banyak pekerjaan yang di bawa pulang. Karena sebentar lagi kelas tiga juga akan melakukan outbound ke bandung. Kebetulan aku yang jadi guru pendamping sekaligus panitia. Jadi sekali lagi maaf yah gak bisa nemenin kamu lama.” Ujar Kanaya.
“Iya gapapa kok Nay, yang penting pas nanti nikahan kamu pokok nya harus nemenin aku dari awal titik, gak mau tau.” Tegas Fera memaksa.
“Iya Fera, siap.” Jawab Kanaya sambil menyunggingkan senyum terbaiknya.
Acara lamaran Fera berlangsung lancar tanpa halangan, mereka bahkan sudah langsung menentukan tanggal pernikahan. Kanaya mendadak terlintas bayangan masalalu, masa kecil dimana dia dan Fera bermain bersama dengan teman lainnya. Rasanya itu baru terjadi kemarin, tapi sekarang mereka semua sudah menikah dan hanya menyisakan Kanaya dan Lovita saja.
Ternyata benar, semakin kita bertambah dewasa kita akan semakin merasa bahwa waktu berjalan begitu cepat. Akhirnya setelah acara pertunangan selesai, Kanaya memutuskan pulang kerumah. Dia berpamitan pada yang lain dengan alasan banyak pekerjaan yang di bawa kerumah.
“Duh, kamu buru-buru banget sih mau pulang.” Ujar budhe nya yang tadi menggunjinginya di belakang.
“Maaf budhe, soalnya lagi ada banyak kerjaan yang di bawa kerumah.” Jawab Kanaya berusaha terlihat baik-baik saja walau sebenarnya hatinya jengkel.
“Kasihan ya, masih honorer. Pekerjaan banyak tapi gaji kecil, coba kalau udah PNS kaya si Fera. Atau paling engga kerja kantoran seperti Nina yang gajinya besar walau bukan PNS tapi lebih terjamin lah.” Tante yang tadi menggunjinginya juga lagi-lagi mengatakan sesuatu yang menyakitkan.
“Iya tante, gapapa kok saya bersyukur dengan apa yang saya punya sekarang. Asalkan tidak merugikan orang lain, lagi pula ini sudah jalan rejekinya. Doakan saja biar rejeki saya di lancarkan dan bisa lolos CPNS.” Jawab Kanaya sekenanya.
“Terus mama gimana pulangnya Nay?” tanya mamanya yang memang masih harus disana membantu beres-beres setelah acara selesai.
“Nanti Kanaya jemput, atau nanti Bapak pulang dari toko suruh jemput mama.” Jawab Kanaya, kebetulan Bapaknya memang memiliki sebuah toko kelontong. Walau sudah ada karyawannya tapi tetap saja Bapak nya kesana untuk memantau.
Akhirnya Kanaya di ijin kan pulang setelah mamanya menelpon sang suami untuk menjemputnya nanti di rumah Fera. Dengan perasaan dongkol Kanaya melajukan motornya. Niat hati dia tidak mau menangis, atau kalau tidak bisa di tahan ya menangisnya nanti di kamar. Tapi saking dongkol dan sesaknya dada Kanaya, dia mengeluarkan air matanya sepanjang jalan.
TBC
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentarnya 🥳 Terimakasih 💓
![](https://img.wattpad.com/cover/270327316-288-k326017.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan nikah?
RomanceFollow dulu sebelum baca! Kanaya seorang guru honorer di SMA ternama yang masih betah menjomblo diusianya yang sudah 24 tahun, membuatnya kerap mendapatkan pertanyaan "Kapan Nikah?" Dari orang-orang. Suatu hari dia berurusan dengan dua pria. Pertam...