Jangan dengar

317 61 9
                                        

Baca lebih cepat sampai tamat di Karya Karsa: Wihelmina Miladi

“Jangan semuanya di masukan hati, kasihan nanti kamu akan semakin banyak merasakan sakit.”
.
.
.

Kini tiba juga hari lamaran antara Fera dan Abdan, seperti tradisi di keluarga besarnya. Kalau ada saudara yang sedang mengadakan acara seperti hajat maupun acara lainnya. Saudara yang lainnya apalagi yang rumahnya dekat akan datang untuk membantu memasak dan mebantu acaranya.

“Ayo Kanaya, buruan. Tante-tante kamu yang lain udah pada di rumah Fera loh.” Ujar mamanya.

“Iya mah, bentar.” Kanaya selesai memakai baju dan riasan tipisnya.

Kanaya menarik napas nya dalam-dalam, dia mencoba tersenyum tipis di depan cermin meja riasnya sambil melihat pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Kanaya mencoba mensugesti dirinya agar apapun yang terjadi nanti, dirinya jangan jadi anak baperan yang sakit hati pada hujatan orang lain. Kanaya mensugesti dirinya sendiri agar nanti menanggapi mereka semua dengan senyuman.

Akhirnya Kanaya keluar dari kamarnya setelah hatinya merasa sedikit lebih tenang. Dia melajukan sepeda motor matic miliknya sambil membonceng sang mama.

“Kanaya, besok nyarinya suami yang kaya kakak ipar kamu. Kan enak tuh sekarang kakak kamu, kemana-mana pake mobil. Udah gak kepanasan lagi, kalau hujan juga aman soalnya di dalam mobil.” Ujar sang mama kembali membangga-banggakan kakak iparnya.

“Kanaya lebih suka naik motor mah, lebih enak. Juga jadi bisa nyelap-nyelip kalau lagi macet.” Jawab Kanaya membuat mamanya mendengus kesal.

Di banding-bandingkan sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Kanaya, sejak kecil dia sudah mengalaminya. Dulu Kanaya memang selalu masuk tiga besar, tapi tidak pernah mendapatkan peringkat satu. Paling mentok dia berada di peringkat dua, sementara kakaknya dan juga sepupunya yang bernama Fera itu selalu meraih peringkat satu. Bagaikan belum cukup sampai disana, Kanaya juga di bandingkan masalah agama. Kakaknya dan juga Fera jauh lebih religious dari Kanaya.

Dulu kakaknya dan juga Fera sering sekali khataman Al-quran, kitab atau lomba-lomba agama lainnya. Sementara Kanaya hanya khatam Al-quran saja dan itupun hanya satu kali. Bahkan tidak sampai di rayakan seperti orang-orang, karena dulu kakaknya dan Fera mengaji di masjid sedangkan Kanaya di guru ngaji biasa yang muridnya hanya beberapa orang saja.

Intinya Kanaya selalu kalah dalam bidang apapun, bahkan saat menginjak dewasa dia juga merasa kalah dalam bidang karier serta percintaan. Itu semua membuatnya bertanya-tanya, dosa besar apa yang membuatnya selalu gagal sejak dulu. Tidak adakah keberuntungan yang tersisa untuk kebahagiaanya.

Tapi setiap kali Kanaya mengeluh dengan hidupnya, pikirannya kembali tersadar ketika mengingat banyak orang-orang yang jauh lebih tidak beruntung darinya. Tapi mereka tidak mengeluh sebanyak Kanaya. Hal itu seperti tamparan untuknya.

“Kamu itu dari dulu emang paling susah di bilangin, keras kepala dan seenaknya sendiri. Kamu sejak dulu selalu saja membantah orangtua, contoh kakak kamu dia sejak dulu patuh pada orangtua makanya sekarang hidupnya enak.” Ujar sang mama lagi-lagi membanding-bandingkan.

Entah mengapa Kanaya tidak terlalu suka dengan konsep yang di anut ibu-ibu dan masyarakat jaman sekarang. Memang tidak semua begitu tapi kebanyakan tanpa sadar mereka selalu membanding-bandingkan anaknya dengan anak orang lain, mau pun anak nya sendiri yang lain. Padahal menurutnya, dengan di banding-bandingkan sang anak menjadi merasa terpojok, hilang semangat dan seperti gagal. Hal itu seperti jadi sugesti yang membuat anak jadi malas, marah pada keadaannya, bahkan merasa tidak disayangi.

Dampak negative lainnya adalah merenggangnya hubungan si anak dengan teman atau saudara yang selalu di bandingkan dengannya. Padahal sebenarnya mereka tidak salah, yang salah adalah orangtua yang selalu membandingkan.

Kapan nikah? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang