[1] °• Hujan di Penghujung Juli •°

2.3K 161 5
                                    

Di penghujung bulan Juli, paginya berhiaskan ribuan butir air yang menghambur memasuki bumi. Rintikan air langit kompak menghantam, menyerbu ruang-ruang yang hampa. Bunyi kecipak dari genangan air pun turut andil, menciptakan harmoni langka. Serta jangan lupakan teduhnya langit yang seakan menjadi momok menyeramkan di setiap kedipan mata. Mungkin karena itulah kicauan burung raib seketika, mereka menunggu giliran sang mentari agar menemaninya membangun melodi yang memesona.

Apalagi dinginnya angin pagi semakin kurang ajar, partikel itu seolah melekuk membentuk gumpalan dan menggulung erat tubuh makhluk semesta, menciptakan gigil tiada tara.

Ini memang hal yang lumrah. Pergantian musim adalah salah satu dari milyaran anugerah Tuhan yang berharga. Namun, tidak istimewa bagi sebagian manusia. Sebab pagi seperti ini seringkali dianggap sebagai pagi yang terkutuk. Dimana mereka yang kesulitan mencapai tempat kerja dengan tepat waktu. Mereka yang kesusahan menjaga seragam sekolahnya dari genangan air coklat. Serta mereka yang kebingungan mencari transportasi, karena lucunya alih-alih sepi transportasi-transportasi umum justru mendadak lebih berisi dari hari biasanya.

Seperti halnya yang dirasakan oleh gadis bernama Keiyona Garvita. Ia tengah kesulitan untuk mendapat transportasi paginya.

Tapi agaknya dewi keberuntungan memihaknya di hujan kali ini. Sebuah bis melaju ke arahnya. Namun, saat kaki Keiyona melangkah maju agar pengendara bis mampu melihat keberadaannya, justru sebuah sepeda berhenti di hadapannya. Tak sampai di situ, cipratan air yang berwarna kecoklatan berhasil mengenai rok putih yang ia kenakan. Tentu saja itu ulah dari si pengendara sepeda.

Muka Keiyona merah padam. "Hema!" ucapnya tertahan, menahan kesal mati-matian.

"O-owww, ups! Nggak sengaja, Kei. Suwer takewer-kewer deh!" sahutnya cepat.

Keiyona menatap dengan dada yang naik turun. Tangannya terkepal geram.

"Marah, Kei?" tanyanya yang terdengar sangat tidak berbobot di telinga Keiyona.

"Menurut kamu?!" ketus Keiyona.

Pemuda itu melebarkan senyumnya. "Ya, mangap Kei, mangap. Kan nggak sengaja."

Lihat? Kata maaf pun ia plesetkan. Terlihat tidak ada keikhlasan dari permintaan maafnya bukan? Tidak heran si, namanya juga Yasa Hemachandra. Si perusuh di kelasnya. Biang onar. Tidak hanya itu, dia adalah murid kelas yang sering sekali melakukan aksi kabur saat ditagih uang kas. Bagian sialnya adalah Keiyona yang harus berurusan dengan Hema karena Keiyona lah yang bertanggung jawab mengenai per-duit-an di kelasnya. Ya sebut saja Keiyona dengan si bendahara kelas yang galak.

Gimana nggak galak kalau berurusannya sama Hema dan antek-anteknya. Capek.

"Mau ikut nggak?" tawar Hema.

"Nggak! Pasti ada maunya!" balas Keiyona sengit.

"Lah? Kok bener?" sahut Hema.

Keiyona merotasikan bola matanya. "Kebaca banget si, ada udang di balik bakwan!"

"Enak dong? Pake cabe rawit nggak?" jawab Hema.

"Mulut kamu itu kayak rawit!" timpal Keiyona.

"Mulut dirawitin? Jontor dong? Kalo bibirku jontor terus jadi seksoy emang kamu-nya nggak takut kalah saing?" Hema menaikturunkan alisnya.

"Hema udah sana berangkat deh! Nggak usah rusuh!" katakanlah Keiyona adalah manusia bersumbu pendek, khususnya jika berbicara dengan Hema. Gampang icemoci.

"Rusuh? Rusuh bukannya yang di sini ya?" Hema meraba dadanya.

"Rusuk!" sahut Keiyona.

"Rusuk? Rusuk sate?" lagi-lagi Hema nyeleneh.

Elegi & Tawa [Selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang