[39]°• Saat Langit Tak Lagi Biru•°

207 28 0
                                    

PART INI MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN. MOHON TETAP BIJAK DALAM MEMBACA.



Langit membiru ketika Keiyona meyakinkan dirinya untuk kembali menginjakan kaki di ruangan BK. Kali ini, tidak ada Hema bersamanya, dia di dampingi Bunda juga Ayah— yang kebetulan sedang cuti. Kemarin sore, Hema meyakinkan Keiyona agar mau menceritakan semua kejadian hari itu ke kedua orang tuanya. Katanya, akan lebih baik orang tuanya tau, bagaimana pun mereka berhak turut serta menegakan keadilan untuk putrinya sendiri.

Dan benar saja, emosi Ayah memuncak. Bahkan ketika ruangan sesak ini belum mengepung segunung emosi yang Ayah tahan mati-matian.

Mungkin, derit jendela yang diterpa angin akan menjadi saksi paling jelas bagaimana kedua orang tuanya berdebat dengan Bu Dahlia dan Kepala Sekolah. Keiyona  awalnya mampu mendengar perdebatan itu dengan sangat jelas, apalagi intonasi Ayah naik ke oktaf yang lebih tinggi. Tapi ketika dering singkat itu ada di ponselnya dan menampilkan satu bubble chat dari Jarot, Keiyona sudah tidak bisa mendengar perdebatan di dalam sana. Suara-suaranya mulai samar, yang terdengar hanyalah bising di kepalanya sendiri.

"Hema..."

Keiyona pernah berfikir bahwa kehidupannya ini sangat monoton, tapi dia juga bersyukur hidup yang ia kerap anggap monoton itu adalah perjalanan yang tenang. Setidaknya sebelum hari kemarin, karena ketika Ayah mengucapkan kalimat itu, Keiyona rasa kehidupannya akan sangat berubah.

"Saya akan pindahkan anak saya ke sekolah lain, yang jelas bukan di kota ini!"

***

Dulu ketika umur Hema sekitar 7 tahun, dia pernah dengan tidak sengaja melihat dua remaja berseragam putih abu tengah berkelahi di bangunan tua. Semua berawal ketika Hema yang pulang dari sekolah itu mengejar seekor anak ayam yang kabur. Anak ayam berwarna merah yang Bapak belikan di pasar malam.

Lalu setelah cukup lama mengikuti sumber suara, anak ayam itu tiba-tiba saja hening. Hema kecil yang terlampau khawatir akhirnya menerobos apa saja yang ada di hadapannya. Sekalipun banyak sekali duri-duri di semak belukar yang ia lewati. Sampai ketika ia melihat sebuah gedung yang memang beberapa sudutnya sudah tampak runtuh, Hema mematung sejenak. Bangunan itu cukup menyeramkan, banyak juga tembok-tembok yang sudah di coreti dengan spidol dan juga cat pilox.

Hema tidak melihat anak ayam yang ia cari-cari di sana. Karena ketika suara-suara bising itu mulai menguasai rongga telinganya, maka hasrat untuk mencari anak ayam merahnya seketika hilang. Yang ada hanyalah rasa penasaran untuk masuk ke dalam bangunan tua itu. Ia mulai berderap, menuju sumber suara yang semakin riuh dan menakutkan. Lalu ketika ia sampai di sisi ruangan ( yang Hema rasa itu adalah bekas ruang tamu), Hema pun menyembunyikan dirinya dari balik tembok yang sangat kotor. Hema ingat sekali, tembok itu pun mendapati beberapa coretan, dan yang paling mencolok diantaranya adalah sebuah tulisan ‘MATI LO PARA BAJINGAN!’

Hema dulu tidak takut dengan bangunan terbengkalai itu. Dia justru lebih takut ketika dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan seseorang tengah dipukuli sampai babak belur. Mereka bertengkar. Entah apa yang mereka ributkan, tapi Hema berhasil dibuat gemetaran. Hema kecil baru pernah menyaksikan kejadian semacam ini.

Hema dulu selalu berpikir, sebenarnya untuk apa mereka semua berkelahi? Bukankah itu akan menyakiti diri sendiri? Apakah orang-orang dewasa tidak bisa menyelesaikan masalah dengan kekeluargaan, apakah harus dengan kekerasan seperti itu?

Elegi & Tawa [Selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang