[5] °• Gara-gara Bola Voli •°

636 82 5
                                    

Cuaca pagi ini lumayan cerah. Arak-arakan awan putih pun mempercantik langit biru. Tapi faktanya, cerahnya pagi ini tak selaras dengan suasana hati Keiyona. Begitu ia memasuki kelasnya, perawakan pertama yang menyambutnya adalah manusia yang sedang sangat ia hindari.

Hema melambai-lambai ke arah Keiyona. Pemuda itu awalnya duduk di bangku Keiyona, sedikit dibumbui percek-cokan dengan Rain. Mungkin Rain tidak kuat dengan energi negatif yang dibawa Hema, jadi ia mati-matian mengusir Hema dari tempat duduknya. Tapi namanya juga Hema. Ngeyel.

"Hai Nenek Gayung pengejar Pattimura pegang pedang!" sapanya yang terdengar sangat menyebalkan.

Hema bangkit dari tempat duduk yang ia tempati. Pemuda itu mengelap terlebih dahulu tempat duduk Keiyona sebelum mempersilakan tuan-nya duduk.

Keiyona langsung duduk, ia mengacuhkan Hema. Namun sejurus kemudian, Hema mengeluarkan 5 lembar uang bergambar Pattimura. "Sesuai janji, aku nyicil kas ku yang nunggak tiga bulan. Nyicil ya, Kei, nyicil. Nggak dilunasin dulu hehe. Tapi... tapi maapin yang kemarin ya?"

Tanpa berbicara, Keiyona mengambil uang yang diulurkan oleh Hema. Gadis itu mencentang ruang yang kosong di barisan nama Hema. "Kas itu kewajiban kamu! Nggak ada hubungannya sama yang kemarin!"

"Maaf kok nyogok!" lanjut Keiyona.

"Orang minta maaf kok nggak diterima. Tuhan aja mau maapin hambanya yang khilaf. Masa sesama hamba nggak mau maapin hamba lain yang khilaf si. Mau kamu di cap jadi hamba yang pendendam?" balas Hema, yang kemudian menaikturunkan alisnya kala Keiyona menatapnya sengit.

"Kenapa? Ada yang salah sama ucapanku?" tanya Hema dengan muka yang dibuat sepolos mungkin.

Keiyona menarik nafas panjang. "Iya-iya! Aku maafin!" finalnya. Keiyona terlalu malas untuk meladeni Hema, karena pasti perdebatan mereka tidak akan menemukan ujungnya.

Dengan mendengar respon positif Keiyona, tentu saja tidak ada alasan bagi Hema untuk tidak tersenyum lebar. Buktinya, deretan gigi Hema sudah berjajar rapi, mungkin jika dihiperbolakan, senyumnya itu sudah memancarkan cahaya yang menyilaukan mata.

"Udah kali nggak usah nyengir terus! Nggak takut kering tuh gigi!" sindir Rain.

"Sirik tanda tak mampu nyengir!" sahut Hema.

Rain yang mendengar itu pun reflek mengepalkan tangan guna mengancam Hema. Tapi, Hema tak mungkin takut. Pemuda itu justru menjulurkan lidahnya, meledek Rain.

"Udah, Rain. Jangan di ladenin," ucap Keiyona memperingati teman sebangkunya. Kemudian beralih menatap Hema dengan ogah-ogahan. "Kamu juga, ngapain masih di sini! Sana balik! Udah dimaafin kan?"

"Iya emang udah dimaafin. Tapi tadi katamu kan gini, maaf kok nyogok! Berarti uangku harusnya dibalikin dong? Kan aku minta maafnya lewat jalur ikhlas, bukan jalur nyogok alias cabang haram."

"HEMA!" geram Keiyona yang sangat tak habis pikir dengan tingkah laku Hema. Sebenarnya Hema itu kenapa si? Pemikirannya itu loh... Kenapa... Argh!

"Uy?" sahut Hema dengan santai.

"Permintaan maaf mu emang nggak nyogok! Tapi kalo bayar kas kan emang jadi kewajibanmu! Tanggung jawabmu Hema! Ishhh! Lagian tagihan kas kamu masih banyak! Mau ditumpuk sampai kapan lagi?!" kesal Keiyona.

Hema berkedip lugu. "Buset, nge-rap kamu Kei? Coba tarik napas dikit-dikit atuh, Kei. Bengek entar marah-marah mulu!" petuahnya kemudian.

"Ya kamu-nya yang nggak berhenti ngeselin! Lagian hidupmu itu kenapa si, Ma?! Bercanda mulu! Serius bisa nggak si?!" Keiyona benar-benar semakin tersulut emosinya.

Elegi & Tawa [Selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang