[38] °• Ketika Dunia Mengacau •°

259 30 0
                                    

Part ini nggak aku revisi, jadi kalo ada typo atau kesalahan-kesalahan di tiap paragrafnya, kalian boleh kok menandainya. Terima kasih🤍

Selamat membaca!

***

Benar saja. Di jam 12 siang, hujan merinai. Tanah-tanah yang semula terpanggang, kini basah bersama aroma petrichornya. Rerumputan yang terhampar luas pun mulai berkilauan. Meskipun rinai air menjerit keras, nyatanya tawa riang beberapa siswa yang bermain air tak kalah nyaring.

Ketika tiap ruas bangunannya di isi riang, Rama seketika merindukan sesuatu yang tidak pernah ia genggam sebelumnya. Dari depan ruang Multimedia, Rama melihat bagaimana hujan membuat sekumpulan siswa-siswi itu tertawa lepas. Di antara tawa itu, Rama menekan sesak yang entah sejak kapan seperti hendak membunuhnya.

"Ini beberapa administrasi yang udah gue rekap," seketika Rama menoleh ke gadis yang sudah berdiri di sampingnya. Moza— selaku Bendahara Osis. Barangkali kalian lupa.

Rama mengangguk, mengambil beberapa kertas juga amplop berwarna biru muda. Dia membuka beberapa, meski Rama tidak benar-benar membacanya. Hujan terlalu bising, isi kepalanya pun sama. Berisik sekali.

Dan tepat ketika kicauan burung terdengar jauh lebih keras, Rama tau bahwa gadis di sampingnya tengah memperhatikannya. Diantara fokusnya yang sebenarnya entah berada dimana, Rama akhirnya memutuskan untuk membuka satu pertanyaan.

"Kenapa?"

Moza masih diam, meski tatapan tenangnya sudah ia lempar kepada genangan air di beberapa lubang-lubang lapangan. Tapi nyatanya, Rama harus berakhir dalam kebisuan sesaat, dan satu-satunya yang Rama dengar hanyalah tarikan nafas panjang.

Moza kembali menatap Rama. "Karena gue tau lo nggak akan suka gue ikut campur urusan lo, gue cuma mau bilang, apa pun keputusan lo saat ini semoga lo udah mempertimbangkannya matang-matang."

Gadis itu reflek mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dada, persis seperti seorang perampok yang sedang di todong pistol. "Okey, lo mungkin anggap gue lancang. Tapi gue rasa lo lagi butuh suara buat meyakinkan diri lo sendiri. Karena itu, buat keputusan yang paling baik buat diri lo. Tanya ke diri lo, apa yang sebenarnya lo butuhin, ketenangan atau pelarian." ada senyuman tipis dari Moza sebelum ia menepuk pundak Rama beberapa kali.

Rama masih membisu, atau mungkin ia memang memilih untuk terus seperti itu. Bahkan ketika tembok-tembok di persimpangan koridor mulai menelan tubuh Moza, pemuda itu masih tetap pada keheningan. Moza sudah pergi, tapi ucapan gadis itu menetap bersama bisingnya hujan.

"Jadi, yang gue butuhin ketenangan atau pelarian?"

Lalu ketika jeritan keras terdengar diantara sayup-sayup hujan, Rama tau akan ada banyak kekacauan setelah ini. Namun yang Rama lakukan hanya mematung di tempatnya, meski dengan jelas ia melihat bagaimana Hema yang sedang memukuli lawannya dengan membabi buta dibawah sana.

Untuk pertama kalinya, Rama melihat sisi Hema yang seperti itu. Dan untuk pertama kalinya juga, Rama melihat sisi dirinya yang begitu mengenaskan. Dia yang tidak melakukan apa pun bahkan ketika dengan jelas ia melihat Keiyona yang sudah menangis histeris.

Hujan hari ini membawa banyak kekacauan.

***

Sore itu, pendingin ruangan beradu dengan atmosfer yang semakin panas. Bahkan sofa panjang yang seharusnya nyaman, di sana justru nyaris terasa seperti bebatuan yang bisa melukai siapa saja. Ketika hujan mereda, amarah itu masih terselip dengan sangat membara. Jelas ini bukan kali pertama Hema menginjakan kakinya di ruangan BK, dan Hema berani bertaruh ini pasti bukan kali pertama Jarot berhadapan dengan Bu Dahlia— selaku guru BK. Namun, tidak dengan gadis yang kedua bola matanya masih sembab, yang demi Tuhan ketika Hema memutar ingatannya ia sangat ingin membunuh Jarot. Bocah keparat!

Elegi & Tawa [Selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang