[29]°• Pelukan Hujan •°

292 51 5
                                    

"Ditelan lagi secangkir pahit, menepikan semburat terang, tanpa jejak— tersisa lah selembar hitam di peradaban. Yang terombang-ambing akhirnya menatap pekat dan sadar, jalanan-jalanan kecil yang ditapaki tak selamanya aman, kerikil-kerikil dan bebatuan terjal nyata di aliran-aliran nestapa. Tak ada isyarat semesta, segalanya menjadi nyata dan bernama kehidupan."

"Lantas seutas tali harap sedikitnya menyesap cemas yang mengakar. Isapan demi isapan. Menjelma alasan bahwa jiwanya enggan tenggelam— sendirian."

@Wattpad Elegi & Tawa ; hotkopilatte_

***

Radio di sudut ruangan itu...

Dhika menatap lama, meski detak jam menyentak. Meski hiruk-pikuk jalanan di renggut malam. Dan meskipun, dingin menyeruak, menusuk lapisan kulit yang tak terbalut jaket. Dhika merasa, radio di ujung sana adalah dirinya.

Setelah disibukan dengan berbagai aktifitas yang melelahkan, bertemu banyak orang dan membereskan segudang pekerjaan, Dhika kembali pada lubang kesunyian. Dhika kelelahan.

Masih pada pijakan yang sama, Dhika melihat telapak tangannya yang membiru kedinginan. "Sebenarnya apa yang gue cari selama ini?" tanyanya pada diri sendiri.

"Karir? Wanita? Kebahagiaan? Ketenangan?"

"Apa gue terlalu keras sama diri sendiri selama ini? Kenapa gue sampai dititik ini? Titik dimana gue nggak bisa merasakan apa pun lagi selain cape dan sepi."

Katanya, diri sendiri selalu yang paling mengerti tentang apa yang jiwa kita butuhkan. Selayaknya radio usang di sudut ruang tamu, beberapa kali radio usang itu diperbaiki, kerap kali masih kembali rusak. Meski terkadang suaranya terdengar jelas, meracau dan mengisi penjuru ruangan dengan intonasi-intonasi berbeda. Tapi, radio usang itu tetaplah seonggok radio yang bisa kelelahan.

Seharian penuh memberikan asupan suara pada jiwa-jiwa yang sepi. Bapak dulu berkata seperti itu, radio usang kesayangannya juga seperti manusia. Butuh istirahat.

Dhika seringkali mengambil jeda. Memberikan ruang. Entah untuk secangkir kopi atau mungkin deru kendaraan yang berlalu lalang— ia ratapi sedikit dan menyesap cemasnya.

Dhika mencoba mengerti bagaimana cara menikmati hidupnya. Tapi Dhika tetap merasa ada yang salah, sekalipun ia sudah beristirahat sejenak.

Desir angin lebih merayap, radio yang tengah berbisik-bisik seketika hening. Malam semakin mencekik. Dhika tak lagi berdiri, dia berjalan ke arah jendela yang terbuka. Menatap bunga-bunga liar di samping rumah, sesekali mendongak untuk kilat-kilat petir. Satu tarikan nafas mulai meluruhkan sesak yang ia tahan.

Ini sangat melelahkan. Dhika terlalu terburu-buru, dia sering memaksakan diri. Mirisnya, dia memang beristirahat tapi dia tidak benar-benar menciptakan ruang untuk isi kepala— carut marut. Dhika tidak mengambil jeda.

Maka malam ini, desir angin akan terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Ada rentang yang Dhika ulur, menciptakan jeda. Dhika sadar, ternyata istirahat pun tidak akan pernah cukup, sesekali ia harus memberikan pemahaman pada dirinya sendiri. Bahwa mencoba sempurna adalah sia-sia. Memaksakan diri adalah penderitaan. Sebab, tidak semua hal berjalan di atas kemauan kita. Itu adalah nyata dan bernama kehidupan.

Dhika terlalu keras selama ini. Dia mau memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang ia sayangi. Tapi karena hal itu, dia seakan lupa diri. Dia jadi tidak mengerti bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa.

"Dua minggu terakhir di bulan kemarin, hujan masih sering turun. Terkadang deras dan petirnya menyamarkan gundah. Meski terkadang berkhianat juga. Katanya pilu itu tidak akan terjamah, tapi akhirnya terbaca juga. Hujan tak sebaik yang dikira."

Elegi & Tawa [Selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang