[34] °• Merayakaan Sendiri •°

269 43 7
                                    

Keiyona POV

Pagi itu, hujan kembali turun. Aku masih di kamar, duduk dengan setengah kaki yang ku beri kehangatan selimut. Dedaunan rambat palsu di kamarku sesekali bergerak tertiup angin. Aku masih terpaku, entah karena badanku yang terasa tidak enak atau karena dingin yang menusuk berkali-kali.

Aku tidak enak badan, tapi aku memilih untuk tetap berangkat.

Dan ternyata, aku tidak akan pernah menyesali keputusan untuk berangkat di hari itu.

Aku masih sangat ingat, di samping jendela Hema mengangkat satu buku untuk mencegah cahaya mengenai wajahku. Aku menyukainya.

Aku suka, ketika Hema mengusap puncak kepalaku.

Aku selalu suka, ketika Hema mulai berdiri di sampingku dan melangkah bersama dari gerbang menuju kelas. Di isi kejahilan-kejahilan juga tawa menggelegar seusai dia melihat wajah marah ku.

Aku suka di dekat Hema. Aku suka lelucon Hema. Dan aku tidak sadar sejak kapan aku menyukai lelucon Hema?

Aku sempat berfikir ini bahaya. Karena kenapa harus Hema?

Dulu aku selalu berfikir Hema tidak lebih dari bocah nakal yang taunya hanya bermain. Dia sering di hukum, sering membuat keributan dan jarang sekali mengerjakan tugas sekolah.

Hema bukan tipe ku.

Tapi, Tuhan dan semesta memang selalu mempunyai 1001 cara untuk membolak-balikkan hati manusia. Aku tidak tau persisnya, tapi aku mulai banyak menghabiskan waktu bersama Hema karena ketidaksengajaan.

Tepatnya, skenario semesta yang aku anggap ketidaksengajaan... favoritku.

Di salah satu malam pada bulan Agustus lalu, ketika bulan sedang cantik-cantiknya aku ingat bertemu Hema di Halte Bus seberang Cafe C-Books— cafe yang sejak malam itu menjadi tempat favoritku.

Dia, dengan sweater hitam dan celana Jogger abu, duduk menatap bulan sendirian. Headset tampak ia gunakan, anehnya aku ingin tau lagu apa yang sedang ia dengarkan malam itu.

Aku mendekat dan dia langsung bisa menangkap keberadaan ku melalui mata indahnya. Senyuman itu seketika menghiasi wajah Hema.

Aku sempat menerka, cahaya bulan malam itu mungkin menyinari Hema, sehingga senyumannya mampu membuatku diam terkesima. Aku masih sangat ingat, malam itu aku berharap senyuman itu akan selalu ada karena aku. Aku mau terus menjadi alasan Hema tersenyum.

Aku duduk di samping Hema setelah ia memberikan isyarat dengan menepuk tempat duduk sebelah kirinya.

"Kamu tau aku lagi ngomong apa sama bulan dari tadi?" alih-alih bertanya kenapa aku ada di sini pada malam hari, atau mungkin bertanya kemana tujuanku sebenarnya, Hema justru terlihat mengangkat topik yang tidak terdengar aneh bagiku.

"Pasti kamu lagi muji bulan karena cantik, ya?" tanyaku.

Hema tertawa begitu saja. "Tadi bulannya emang keliatan cantik dan bersinar banget, sebelum kamu dateng. Karena sekarang bulannya keliatan redup."

Aku terdiam, sedikit membenarkan mimik wajah dan berusaha tenang. Ku lihat lagi, dia rupanya masih mendongak menatap bulan yang katanya redup.

"Bulannya tadi bilang katanya aku bakalan ketemu kamu di sini. Jadi, aku tungguin deh di sini."

Aku terkejut mendengar penuturannya. "Kenapa kamu tungguin? Kalo bulannya bohong gimana?"

"Bulannya dosa."

Elegi & Tawa [Selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang