[36] °• Ketika Senja Tenggelam Di Garis Cakrawala •°

250 36 0
                                    

Temaramnya cahaya lampu kamar Hema nyatanya menjadi saksi paling jelas dari cengiran lebar Hema sejak 30 menit yang lalu. Dia masih tengkurap di atas kasur, pandangannya masih saja jatuh pada layar ponsel yang menampilkan beberapa bubble chat. Kalo kata orang si, Hema lagi kasmaran.

Kaki yang ia tekuk, ia mainkan hanya untuk meluapkan perasaan menggelitik yang diteruskan oleh detak jantungnya. Seperti yang dibilang Kenzo beberapa waktu lalu, "abang klepek-klepek begitu abis nelen oli motor kah?"

Bocah yang tengah menyusui kucing-kucingnya itu ( menggunakan dot bayi kucing tentunya) seketika terheran-heran dengan perilaku aneh abangnya. Contohnya saja tadi sore, abangnya itu tau-tau menawarkan diri untuk memandikannya. Kenzo yang memang berpikir, mumpung abangnya sedang dalam mood oke, jadilah ia bersenang hati dimandikan abangnya. Dipikir-pikir, Kenzo males mandi sendiri.

Tapi alih-alih memandikan dengan cara yang benar, Hema justru ugal-ugalan dan brutal.

"Coba angkat tangannya, abang mau bersihin ketek Kenzo biar nggak bau sambel terasi."

Kenzo mendengus meski langsung menuruti perintah abangnya. "Tumben mandiin Kenzo sambil bawa hp? Biasanya juga hp di tinggal di sekolah."

"Bukan ditinggal, tapi ketinggalan."

"Iya ketinggalan karena emang nggak ada yang chat abang kan? Nggak berguna hp-nya."

Kontan Hema melotot. "Saran abang kamu jangan kebanyakan main sama Abang Dhika deh, mulutnya pedes banget kayak sambelnya Bu Sawiyah."

"Sejak kapan Bu Sawiyah jualan sambel? Bukannya Bu Sawiyah jualan es teler durian, ya? Udah ganti bidang kah?"

"Lah sejak kapan ganti jadi es teler durian?" Hema justru kebingungan sendiri.

Belum selesai dengan pikirannya, Hema spontan memberi jarak dengan Kenzo. Bukan apa, tapi bocah itu terlihat menyipitkan mata curiga seraya mencondongkan badannya. Seakan-akan usahanya itu bisa membongkar seluruh isi kepala Hema.

"A-apaa?"

"Jujur aja deh sama Kenzo, abang ada hubungan gelap ya sama Bu Sawiyah?"

Hema tersedak ludahnya sendiri. "Busetttt, yang bener aja, Ken. Masa perjaka menggoda begini doyannya emak-emak bersuami. Dikira abang cowok apaan?"

"Ya itu kenapa bisa tau rasa sambel buatan Bu Sawiyah?"

Hema menggaruk belakang kepalanya, yang tanpa sadar meninggalkan jejak busa sabun di sana. "Maap deh, abang yang lupa kalo ternyata bukan Bu Sawiyah yang jualan sambel. Tapi, Bu Gembrot yang rumahnya di Gang No. 8 kan?" tanyanya antusias seraya menaikturunkan alisnya.

"Gembrot... maksudnya Bu Gembrot mah nggak jualan apa-apa, bang." Raut wajah Kenzo datar. Sangat datar.

Alih-alih mendapatkan kalimat untuk memperdebatkan keakuratan perihal Bu Gembrot, sebuah notifikasi yang entah sejak kapan sangat terdengar nyaring dan lebay itu membuat Bang Hema buru-buru membukanya. Dan seperti beberapa saat belakangan, Bang Hema pasti senyum-senyum sendiri sembari menatap layar hp, yang bahkan ketika Kenzo intip sedikit— layar ponsel nya masih sama, datar dan ada beberapa retak di sudutnya.

Tapi, Kenzo tidak berkomentar apa pun, dia memilih untuk duduk di ember besar yang memang selalu ia pakai jika dimandikan abangnya. Bermain bersama bebek-bebek air, yang ketika Kenzo hitung kembali ternyata anak bebeknya hilang satu. Di ember hanya mengapung 6 bebek saja.

"Bang, anak bebek aku ilang satu."

"..."

"Bang?"

Elegi & Tawa [Selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang