[22] °• Dinosaurus •°

436 73 8
                                    

Ketika senar gitar menggema di gulita yang membentang, atap meneduhkan butiran-butiran perih yang mengendap pada dinding hati. Banyak hal yang coba Hema resapi malam ini. Bukan tentang hal-hal yang kemarin coba ia genggam dan kendalikan saja, tapi tentang semua yang sudah ia selami sejauh ini. Tentang mengikhlaskan, tentang sabar, tentang amarah yang selalu tertahan dan tentang bagaimana ia terluka lalu mencoba bangkit lagi dengan bertaruh pada keyakinan dirinya.

Seakan-akan Hema menjadikan melodi senar sebagai lorong tersembunyi untuk dirinya berlari. Melepaskan jenuh dan sakit yang dirasa. Petikan-petikan senarnya nyatanya lebih sederhana ketimbang nafas yang mulai memberat. Hingga menuju detik yang mulai mendingin, petikan-petikan itu mulai tak beraturan bersamaan dengan jiwa yang menggigil diterpa dingin. Hema rindu bunda. Lagi dan lagi.

Untuk ke sekian kali. Hema merindukan sosok itu.

Sampailah Hema di detik yang hanya dirundung senyap. Yang tersisa hanyalah kolaborasi dinginnya malam dan kehangatan air mata yang entah dari kapan mengalir.

"Bunda, Hema kangen bunda..." lirihnya. Dalam sakit yang semakin mendekap.

Angin mengusap kepala Hema, menjadikannya tertunduk lesu seraya menekuk lutut kakinya. Membiarkan kepalanya jatuh di antara tangan yang bertumpu pada lutut. Hema menangis di keheningan malam.

"Perjalananmu itu akan selalu indah, Hema. Kenapa Bunda bilang begini? Karena ketika kamu terluka dan kamu menangis sekalipun, itu artinya banyak kasih sayang yang Tuhan berikan, bahasa cinta dari Tuhan yang di bisikan kepada semestanya. Mungkin ketika kamu sangat menginginkan sesuatu, tapi kamu tidak bisa mendapatkannya. Mungkin juga ketika kamu mencintai hal yang ternyata melukai kamu. Tuhan dan semesta baik, dia mau kamu tau bahwa perjalanan bukan tentang menginginkan lalu memiliki. Kadangkala, kita hanya diizinkan untuk mengagumi lewat jarak pandang pada rotasi yang dimana kamu hanya berdiri tegak di sana."

"Karena di setiap masanya, waktu akan membawamu bertemu dengan orang-orang yang menjadikanmu kuat, entah itu dari luka ataupun dari rasa-rasa baru yang kamu dapatkan. Tapi ingat ini, dunia itu abu, kamu nggak bisa menilai putih dan hitamnya orang-orang yang datang ke dalam hidupmu. Mereka juga sama sepertimu, punya segelintir perjalanan yang dimana mereka biarkan hanya diri sendiri dan Tuhan yang tau."

Hema menciptakan sunyi yang diraba oleh kerinduan pekat. Membiarkan petikan gitarnya menutur setitik demi setitik lara. Seakan enggan membiarkan Hema terjatuh dalam tegaknya raga.

"Sebab mereka juga sama sepertimu, punya segelintir perjalanan yang dimana mereka biarkan hanya diri sendiri dan Tuhan yang tau..." Hema bergumam seraya menatap langit-langit rumah.

"Dari sekian banyak perjalanan yang hening, akhirnya aku memilih kamu menjadi salah satu karakter yang mengisi perjalanan hening. Perjalanan sepi yang nggak akan pernah aku sesali. Karena kamu nggak perlu tau, hening yang riuh ini nyatanya selalu menyebut nama kamu. Hening yang menjadi tempat pelarian dari diri sendiri, yang hati dan pikirannya selalu bertentangan- tetap berdiri di pijakan yang sama atau berjalan mengambil rute yang berbeda." Suara itu nyatanya mengisi keheningan malam, namun Hema tak membiarkan perabotan-perabotan rumahnya mendengar suara hatinya ini.

"Sok galau banget," mungkin Hema akan biasa saja dan bersikap tidak peduli begitu mendapati adik kecilnya keluar kamar, komen seenak jidat dengan muka bantal dan jejak liur di samping mulutnya. Tapi begitu Kenzo berjalan melewatinya, Hema mendengar suara yang teramat keras. Suara yang meninggalkan jejak busuk di sepanjang ruangan. Bahkan Hema berani bertaruh, kalo-kalo bom dari Kenzo di luncurkan di halaman rumah, maka bunga-bunga yang baru saja mekar langsung menguncup dan mati detik itu juga.

Elegi & Tawa [Selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang