Ellent kini terdiam, tak mengeluarkan suara sedikitpun. Ia rela ditarik sang kakak, tanpa mengeluhlan lengannya yang sudah memerah. Saat sampai di ruangan yang dituju, Vathur langsung membuka pintu ruang kerja sang ayah.
"Ayah!"
Damian menoleh, ternyata ada Calista juga di dalam. Mereka berdua menatap Vathur dan Ellent keheranan. Apalagi dengan wajah mereka yang terlihat kacau, seperti habis menangis.
"Kau kenapa, Vathur?" tanya Damian melihat tatapan tajam yang putranya berikan.
"Itu yang ingin kutanyakan kepadamu, kau kenapa Ayah? Kenapa kau mengorbankan adikku demi melindungi ibu kedua?!"
Deg!
Mata Damian dan Calista terbelalak kaget. Bagaimana mereka bisa tahu?
"Kenapa, Ayah?!" Vathur kalap. Ia begitu murka ketika mendengar ucapan sang ibu. Valerie diasingkan hanya agar rumor tentang Calista bisa terhapus dari perbincangan para bangsawan.
Ellent tersenyum miris. Lihat, kedua orang itu hanya terdiam. Tak mengucapkan sepatah kata pun.
"Kalian tak ada yang bisa menjawabku? Hah, artinya semua itu benar, 'kan? Kenapa kalian tega sekali pada adikku?! Kenapa harus adikku yang kalian korbankan?!"
"Lalu menurutmu siapa lagi?" Vathur terdiam. Kini seluruh atensi mengarah pada Damian yang baru selesai berucap.
"Menurutmu ayah harus mengorbankan siapa lagi, Vathur? Hanya adikmu yang bersamamu saat kejadian itu. Tapi, muncul rumor kalau kecelakaan itu adalah konspirasi Ratu Calista, menurutmu aku harus apa?"
Vathur menatap Damian dengan nafas memburu. "Ayah seharusnya melakukan hal lain---!"
"Hal apa?!" sentak Damian membuat Ellent berjengit kaget. "Tak ada jalan lain waktu itu, Vathur tak ada! Saat kami masih dirundung duka karena berpikir kau telah tiada, rumor itu berkembang begitu cepat! Aku harus menghentikan rumor itu sebelum memperparah keadaan. Karena itu aku mengasingkan adikmu! Kau pikir, jika rumor itu dibuktikan lalu Ratu Calista ternyata bersalah, negeri ini akan baik-baik saja? Tidak! Akan terjadi banyak pemberontakan, Vathur! Karena itu hanya dengan mengasingkan Valerie, maka semuanya tetap damai ...." Damian melirih di akhir kalimatnya. Sejujurnya, hatinya sakit saat harus mengakui kebenaran itu di depan putrinya sendiri.
Entah sejak kapan, tapi Ratu Calista sudah terisak. Ia menatap Valerie penuh rasa bersalah, ia mendekati gadis yang sudah dianggapnya sebagai putri kandung sendiri.
"Valerie ...," lirihnya. Ellent mendongak, menatap manik emerald yang telah basah sepenuhnya itu.
"Jadi, sejak awal aku tak pernah bersalah, 'kan?" Suara Ellent bergetar, air mata perlahan membasahi pipinya. Ingatan saat Valerie menjadi seperti mayat hidup selama pengasingan membuat dadanya sesak. Gadis kecil itu telah menanggung banyak beban, bahkan sebelum dewasa.
Tangan Calista terulur, ia mengelus lembut rambut gadis itu. "Maafkan ibu, Nak. Tolong maafkan ibu ...." Ia kembali terisak.
Damian dan Vathur kompak mengalihkan pandangan mereka, enggan menatap adegan menyedihkan itu.
"I-bu ... aku-aku sangat kesulitan saat itu. Semua orang mencaciku, mereka menyebutku pembunuh, Bu ...." Suara Ellent serak. Mungkin pengaruh terlalu banyak menangis hari ini.
Tak tahan lagi, Calista langsung memeluk gadis itu erat. Tangis mereka sama-sama pecah. Bahkan Valerie makin terisak di dalam sana. Mereka bertiga merasakan sakit yang sama.
"Maafkan ibu, Sayang. Tolong maafkan ibu ... seharusnya ibu menghalangi raja saat itu ... seharusnya ibu saja yang dihukum bukan gadis kecil ibu ... maafkan ibu, Sayang ...."
Ellent menggeleng. "Ibu, jangan ada lagi. Aku jamin rasanya sangat menyakitkan. Kau-kau akan selalu berpikir untuk bunuh diri sama sepertiku, jika itu terjadi padamu. Jangan-jangan pernah ada lagi ...."
Ketiga orang itu menatap Ellent nanar. Bunuh diri? Seberat itukah yang dirasakan Valerie dulu? Rasa bersalah Calista dan Damian makin membesar. Sementara Vathur makin menyesal, kenapa ia tak pulang sejak lama?
"Valerie ...." Calista tak bisa berkata apa-apa lagi, ia hanya memeluk Ellent erat sembari menangis.
Brukk!
Kini semua mata beralih pada Damian yang berlutut dengan wajah murung. Tak ada yang tak terkejut di ruangan itu, tubuh Vathur, Ellent dan Calista seakan membeku.
"Y-Yang Mulia---"
"Maafkan aku, Putriku."
Deg!
Ellent tetap diam, ia menatap tepat manik biru laut ayah Valerie itu. Bisa terlihat jelas penyesalan dalam mata itu. Bahkan, Valerie sendiri menatap ayahnya shock. Apa benar itu ayahnya? Raja Kerajaan Elvathir?
"Ayah telah bersalah padamu, ayah pantas dihukum."
"Ayah!"/"Raja!"
Vathur dan Calista berlari lalu menahan tubuh Damian yang terhuyung. Sementara Ellent tetap diam di tempat, ia menatap Damian dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Ayah, mohon ... jika bisa, tolong maafkanlah ayah ...."
Pikiran Ellent kacau. Ada banyak persepsi dalam kepalanya, entah apa yang harus diturutinya.
Valerie, kau mau memaafkannya dengan mudah?
"..."
Tak ada balasan dari dalam sana, sepertinya Valerie sendiripun tengah kebingungan. Tentu itu bukan hal jahat, sejak kecil dia sudah menanggung kesalahan yang ternyata bukan salahnya, jadi pasti sulit untuk memafkan sekarang.
Valerie, aku bertanya padamu.
"Ah, ya?"
Kau akan memaafkan ayahmu atau tidak?
Eum, maafkan saja, Nona. Ayah sudah meminta maaf dengan tulus, lagipula itu demi kedamaian negeri, 'kan?
Sudah kuduga. Terlalu baik dan bodoh memang hanya dipisahkan 1 garis tipis.
Tak kunjung mendapat jawaban, Damian tersenyum miris. "Kesalahan ayah memang tak mudah dimaafkan. Kau tak perlu terlalu memikirkannya, Anakku. Ayah akan tetap menunggu sampai kapanpun." Damian telah bangkit, tapi kali ini disanggah Vathur dan Calista agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
"Aku memaafkan ayah," gumam Ellent yang membuat tiga orang itu memandangnya tak yakin.
"Valerie, kau---?"
Ellent mengangkat kepalanya, menatap tepat pada Damian. "Aku memaafkan ayah. Aku tak menyimpan dendam apapun, meski aku sempat kecewa, tapi aku bisa memaafkan ayah. Lagipula, kata ayah ini demi kedamaian negeri, 'kan? Aku juga dudah berhasil melewatinya meski dangat sulit. Jadi, tak ada alasan bagiku untuk menyimpan dendam terhadap ayah."
Vathur tersenyum haru dan bangga. Adik kecilnya bisa berpikir sedewasa ini ternyata. Ia sungguh bangga.
"Putriku," panggil Damian terdengar parau. Ia merentangkan tangannya, meminta untuk dipeluk. Agak ragu, tapi kaki Ellent tetap melangkah ke arah Damian meski dengan beratnya. Sesampainya, Damian langsung menarik Ellent ke dalam dekapannya.
Tanpa mereka ketahui, Valerie sudah mengucapkan mantra agar kali ini dia bisa merasakan pelukan sang ayah sendiri setelah bertahun-tahun. Tentu atas izin Ellent.
"Ayah, aku sangat rindu pelukanmu ... aku sangat merindukannya," isak Valerie membuat Damian makin mengeratkan pelukan mereka. Sesungguhnya, Damian pun sudah sangat merindukannya.
"Ayah juga, Putriku. Ayah juga ...."
Hari itu, semua kesalahpahaman berhasil terselesaikan dengan baik. Tak ada masalah lagi. Tak ada penyesalan yang terpendam lagi. Tak ada amarah lagi. Karena pada saat itu, mereka telah berdamai dari lubuk hati masing-masing. Hanya mereka, entah bagaimana yang lainnya.
Tbc.
//1008//
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Different Souls[END]✔
Fantasy[ENDING] ●Budayakan follow sebelum membaca. ●Jangan lupa vote dan komen. *** [Belum revisi! Jadi, mohon maklum kalau penulisan ataupun alurnya acak adut. Sebenarnya ragu buat revisi juga sih, biar nanti ada pembanding karyaku yang dulu dan sekarang...