"Sekarang pegang tanganku, Putri."
Ellent menoleh, menatap heran ke arah Archer. "Kenapa harus?"
"K-karena kita akan berteleportasi," jawab Archer sembari menoleh ke arah lain, menyembunyikan rona merah pada pipinya.
Kening Ellent menyerngit. "Sejak kemarin-kemarin kita bisa berteleportasi tanpa berpegangan, kenapa sekarang harus?" Ellent merasa aneh dengan sikap Archer sekarang.
"P-Putri, kau ingin segera mendapatkan Navulia Chandanche, 'kan? Kalau begitu ayo pegang." Archer bersikeras. Meskipun terasa aneh, Ellent menyetujuinya saja. Lagipula saat ini nyawa Vathur lebih penting dari apapun.
Tanpa Ellent ketahui, Archer tersenyum puas saat tangan mereka telah saling menggenggam.
"Tutup matamu, Putri." Ellent menurut. Sekitarnya serasa berputar sebentar, lalu saat membuka mata mereka sudah di tempat lain.
"Selamat datang di Helgiom lagi," ujar Archer sembari tersenyum.
"Bagus, sekarang di mana kita bisa mendapatkan bunga itu?" tanya Ellent langsung. Tak menyadari raut Archer yang menjadi murung.
"Tak perlu buru-buru pun, dia tetap akan selamat," gumamnya.
"Kau bilang apa?" tanya Ellent ketika tak mendengar jelas ucapan Archer.
Archer gelagapan. "Ahh, itu ... tempatnya akan kutunjukkan. Kau ikut saja," ucap Archer mengalihkan pembicaraan. Lagi-lagi Ellent hanya menurut saja.
Mereka berdua berjalan-jalan sebentar, bahkan kecepatan mereka bisa dibilang lambat. Ellent menatap Archer kesal.
"Archer! Kita ke sini untuk mencari obat bagi kakakku bukannya bersantai seperti ini. Kau tak tau kalau keadaan sedang genting?!" Archer balas menatapnya kesal.
"Tak perlu buru-buru pun, kakakmu akan tetap selamat, Putri! Sudah kubilang 'kan kalau kekuatan sucimu akan melindunginya! Bunga itu hanya akan membuatnya sadar saja!" Ellent tersentak melihat Archer yang membentaknya. Mata Ellent berkaca-kaca, namun dia tetap menatap Archer marah.
"Kenapa kau membentakku?! Kau tak tau bagaimana rasanya melihat orang yang kausayangi terluka, 'kan? Karena itu kau bisa bersantai di keadaan seperti ini!" Ellent menunjuk-nunjuk wajah Archer, ia tak sadar jika saat ini mereka tak melakukan penyamaran apapun hingga keduanya nampak begitu mencolok.
Banyak warga yang berbisik-bisik. Mereka tau bahwa pria itu adalah putra mahkota. Tapi, siapa gadis itu? Kenapa dia berani menunjuk-nunjuk putra mahkota begitu?
Archer yang sadar akan sekelilingnya menghembuskan nafas kasar. Bahaya jika berita ini sampai terdengar ke istana. Itu bukan hal baik.
"Putri, baiklah. Maafkan aku, sekarang kita ikuti kemauanmu langsung." Archer memegang tangan Ellent, namun langsung ditepis. Ellent mengalihkan tatapannya dengan raut kesal yang masih terpatri pada wajahnya.
Archer menghela nafas. Tak lama kemudian mereka kembali menghilang. Itu bukan apa-apa jika di Kerajaan Helogiom. Seluruh rakyat pun bisa berteleportasi, namun kekuatan mereka tentu terbatas.
"Kedai?" Itulah kata pertama yang Ellent ucapkan begitu mereka muncul kembali.
Ia mengenal kedai ini. Itu adalah kedai tempatnya bertemu Vathur dulu. Kedai milik Kaluna.
"Aku yakin gadis itu punya bunga yang kita cari," ujar Archer lalu memasuki kedai. Namun, tangannya ditahan Ellent membuat pria itu merasakan sengatan aneh, namun disukainya.
"Ini tempat Kak Kaluna, jika ia tau keadaan Kak Vathur dia pasti khawatir. Kak Vathur tak akan suka jika dia khawatir," ujar Ellent. Sejujurnya, ia sendiri cukup kaget dengan pemikirannya. Sejak kapan ia peduli perasaan orang lain? Ahh, mungkin ini karena Valerie.
"Justru itu, kita harus memberitahunya. Kurasa kakakmu akan lebih cepat pulih jika orang yang dicintainya ada bersamanya saat dia sakit." Ellent terdiam. Apa boleh begitu?
"Lalu, kita akan bilang apa pada keluargaku?"
"Bilang saja kalau dia teman kakakmu. Ayo, masuk. Bukannya kau sangat mengkhawatirkam kakakmu, 'kan?" Ellent mengangguk ragu.
Sesampainya di dalam, terlihat Kaluna yang sedang kelimpungan melayani pelanggan. Setiap hari sepertinya kedai ini selalu ramai, untungnya gadis itu sudah memperkerjakan beberapa orang yang bisa membantunya.
"Elle, tolong antarkan makanan ini ke meja 10." Kaluna menyodorkan semangkok sup kepada gadis berambut cokelat gelap itu, lalu langsung diantar.
"Kak Kaluna," panggil Ellent membuat gadis itu menoleh. Ia tampak terkejut.
"Eh, Tuan Putri? Wah, anda datang lagi bersama pangeran, ya? Kalian mau pesan apa? Akan langsung aku siapkan," cerocos Kaluna dengan antusias.
"Kami tak ingin makan, bisakah kita pergi ke tempat yang lebih sepi? Rasanya tak menyenangkan ketika jadi tontonan seperti ini," ucap Archer dengan raut risih. Pasalnya, orang-orang terus menatapnya dan Ellent. Ini salahnya juga sih yang tak melakukan penyamaran.
"Ohh, baiklah. Mari ikut saya. Elle! Tolong urus sebentar, ya!" Wanita yang dipanggil Elle itu memberikan jempolnya.
Kaluna kemudian menuntun kedua orang itu ke rumahnya yang berada tepat di belakang kedai. Setibanya di ruang tamu, mereka dipersilahkan duduk.
"Maaf jika rumah saya kurang layak, tapi saya akan berusaha menjamu kalian dengan baik. Saya akan buatkan teh dan kudapan dulu sebentar," ujar Kaluna lalu berbalik, belum sempat ia pergi, namun Ellent sudah menahannya.
"Kak Vathur sedang sakit."
Deg!
Raut Kaluna yang semula ceria kini jadi kaget bercampur cemas, ia menatap Ellent penuh tanya.
"Dia diracuni kemarin." Kaluna shock. Ia menutupi mulutnya menggunakan tangannya sendiri dengan mata yang mulai berair.
"B-bagaimana bisa?" Ellent tersenyum getir.
"Duduklah dulu," ucap Archer yang langsung dipatuhi. Kabar mengenai Vathur lebih penting bagi gadis itu, dibanding menjamu para tamu kehormatannya.
"Kami belum tau dalangnya, tapi aku berjanji dia akan segera ditemukan." Sorot mata Ellent menunjukkan kebencian. Ia akan segera menepati janjinya itu.
Dada Kaluna sesak. Ia mulai menangis sembari menutup mulutnya. "Selama di sini dia tak pernah terluka parah, kenapa sesampainya di sana langsung diracuni? Dia orang baik, Putri ... dia orang baik ...." Gadis itu terisak. Wajah Vathur yang tengah tersenyum lembut terbayang dalam pikirannya.
Mata Ellent ikut berair, ia berusaha menahan air matanya. "Kakakku memang baik. Kerajaan yang buruk." Suaranya terdengar parau. Ia mengusap punggung Kaluna, menenangkannya padahal dia pun perlu ditenangkan.
"Kaluna, kami butuh bantuanmu." Archer memandang gadis itu serius. Kaluna balas memandangnya.
"Katakan saja, Yang Mulia. Demi Vathur, saya akan melakukan apapun." Archer tersenyum. Ia bisa melihat tekad kuat yang ada dalam mata gadis itu.
"Navulia Chandanche, kau memilikinya, 'kan?" Kaluna berfikir sejenak, lalu mengangguk cepat.
"Saya menanamnya di belakang rumah. Kita bisa mengambil sebanyak yang dibutuhkan."
"Kita hanya perlu setangkai saja. Dan satu lagi, kau bisa membantu kami di Elvathir?" Kaluna terdiam.
"Maksudnya, aku ikut ke Elvathir?" Ellent dan Archer mengangguk.
"Tapi, bukannya rakyat Heligiom tak boleh---"
"Itu biar aku yang tangani. Kau hanya perlu ikut, bagaimana?" Kaluna tersenyum, lalu mengangguk cepat.
"Jika Yang Mulia sudah mengizinkan, untuk apa saya menolak?"
Tbc.
//1004//Jangan lupa vomentnya guys. Udah sampe chap segini, gak mungkin 'kan bacanya cuma 'coba-coba' aja? Aku harap, pembaca TDS yang baek dan cantik-cantik bukan siders yaa😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Different Souls[END]✔
Fantasy[ENDING] ●Budayakan follow sebelum membaca. ●Jangan lupa vote dan komen. *** [Belum revisi! Jadi, mohon maklum kalau penulisan ataupun alurnya acak adut. Sebenarnya ragu buat revisi juga sih, biar nanti ada pembanding karyaku yang dulu dan sekarang...