"Apa ... tubuhku masih hidup?" Ellent menunduk, tak berani menatap manik emas Dewi itu lalu mengartikan sendiri tatapannya. Ellent enggan menebak-nebak di saat seperti ini, ia ingin mendengar jawaban pasti.
"Aku tak bisa mengatakannya padamu." Ellent mendongak cepat, lalu mendapati senyum penuh arti Dewi itu. "Tapi, aku bisa menunjukkannya."
Sebuah cahaya putih muncul tiba-tiba di depan mereka. Makin lama, makin membesar hingga terlihat seperti layar proyektor. Beberapa detik kemudian muncul sesuatu di layar itu. Tubuh Ellent membatu, matanya berkaca-kaca penuh haru.
"Aku ... masih hidup?"
Di layar itu terlihat tubuh Ellent yang terbaring kaku dengan berbagai macam alat penunjang hidup yang menempel pada tubuhnya. Di sisi kiri dan kanan tempat tidur, terlihat ayah dan ibunya yang setia menemaninya yang enggan membuka mata. Sorot lelah terlihat jelas pada mata kedua orang itu, namun masih terdapat harapan besar di hati mereka. Berharap, bahwa sang buah hati bisa membuka mata kembali.
"Ayah ... ibu ...," lirihnya dengan air mata yang meluncur bebas pada pipinya.
"Sekarang, aku akan memberimu pilihan Ellent. Kau mau kembali pada orang tuamu lalu melupakan segala hal yang ada di sini, termasuk Archer. Atau, kau akan tetap di sini lalu jiwa Valerie yang akan menghilang selamanya."
Deg!
Mata Ellent dan Valerie sontak membelalak kaget. Apa-apaan pilihan itu?
"Apa maksudmu Valerie akan menghilang?!" pekik Ellent murka. Ia menatap tajam Dewi itu.
"Kau ingat saat dadamu sangat sakit, sebelum kau datang ke sini?" Ellent mengangguk pelan. "Itu karena rahasia mengenai 'tamu' sudah terungkap, dengan begitu 'tamu' itu harus pergi atau menggantikan jiwa asli untuk selamanya. Mustahil bagi satu tubuh untuk terus menampung dua jiwa di dalamnya."
Brukk!
Ellent membelalak kaget ketika Valerie telah bertelud di hadapannya sembari menangis.
"Valerie, apa yang kau lakukan?!"
"Nona, aku mohon jangan biarkan aku menghilang. Aku mohon kepadamu, Nona. Tolong maafkan semua perkataanku sebelumnya yang menyakiti hatimu, sungguh aku tak bermaksud menyakiti perasaanmu." Valerie menangis tersedu-sedu. Ia sungguh mengharapkan rasa simpati Ellent, bahkan sekalipun itu adalah sebuah rasa kasihan, ia tak mengapa. Karena yang terpenting sekarang adalah ia tak menghilang.
Sementara Ellent memandang Valerie lurus tanpa bergerak sedikitpun. Ekspresi wajahnya pun tak bisa untuk sekedar ditebak. Sebenarnya apa yang dia pikirkan?
"Kau bilang aku menumpang pada tubuhmu, 'kan? Kau bilang aku egois, 'kan?"
Tangis Valerie berhenti. Ia mendongak, lalu menatap wajah datar Ellent takut-takut. Apa Ellent sangat tersinggung dengan ucapan Valerie tadi? Apa Ellent tak bisa memaafkannya? Apa ... Ellent akan membiarkannya menghilang?
***
Di kamarnya, seorang gadis bersurai pirang keemasan terbaring kaku. Wajahnya dan juga bibirnya pucat, seolah tak ada darah yang mengalir di sana. Di dekatnya berdiri seluruh keluarga, menantinya untuk segera bangun dari tidur panjang yang sepertinya membuat nyaman.
Vathur, sang kakak mengelus lembut surainya dengan senyum getir menyedihkan. Sebulan sudah sang adik menutup mata, berkat sihir Archer ia bisa terus bernapas meski tanpa makan dan minum. Semenjak kejadian malam itu, mereka semua lebih memperhatikan gadis itu. Sebenarnya, dia sakit apa? Penyakit yang membuatnya tidur panjang? Penyakit yang tak diketahui jenisnya apa?
"Adikku, bangunlah ... kau telah tidur terlalu lama," lirih Vathur. Ia memandang sayang sang adik.
Ernest kemudian mendekat. "Bangunlah, Erry. Apa mimpimu sebegitu menyenangkannya hingga tak mau bangun? Di sini, kami sangat mengkhawatirkanmu. Apalagi Archer, dia sangat berantakan tanpamu. Baru kali ini aku melihatnya serapuh itu, Erry."
Yang dikatakan Ernest memang benar. Rasa bersalah menghantui batin Archer hingga ia tak mempedulikan hidupnya sendiri. Makan tak teratur, tidur sangat jarang, sekalinya tidur pun ia tak akan nyenyak. Bahkan saat ini entah kemana perginya Archer, semoga saja ia tak berbuat nekad lagi.
Tiba-tiba, jemari gadis itu memberikan pergerakan yang berhasil diamati Vathur dan Ernest. Perlahan namun pasti, manik safir itu keluar dari persembunyian panjangnya. Betapa bahagianya seluruh keluarga yang melihatnya, mereka kompak mengucap syukur.
Namun, ucapan syukur mereka terhenti ketika air mata menetes deras dari mata yang belum terbuka sepenuhnya itu. Isakan-isakan menyakitkan juga ikut keluar dari bibirnya itu.
"V-Valerie, kenapa kau menangis? Apa yang kau rasakan hm? Di mana yang sakit?" tanya Aretta sembari membawa sang putri dalam pelukannya.
Bukannya diam dan menjelaskan, gadis itu malah menangis semakin kencang. Entah apa alasannya, tapi itu sangat mengganggu hatinya.
"I-ibu ... aku-aku jahat ...!" serunya histeris.
Orang-orang saling berpandangan, tak mengerti dengan maksud dari putri pertama Kerajaan Elvathir itu.
Aretta mengelus punggungnya lembut, berusaha memberikan kenyamanan. "Tenanglah, Sayang. Kau tak perlu menjelaskannya sekarang, kau bisa menjelaskannya nanti, oke? Tenanglah dulu," hibur Aretta. Ia mengusap surai keemasan putrinya itu.
"Ibu ... dia orang paling baik yang pernah kutemui. Aku-aku menyayanginya, aku sangat berterima kasih padanya. Dia benar-benar baik, Ibu ...," isak gadis itu.
Benak keluarganya dipenuhi pertanyaan, namun tiada satupun yang ingin menanyakannya disaat seperti ini. Beberapa menit gadis itu menangis dan meracaukan hal aneh, membuat keluarganya khawatir.
"Kau sudah lebih tenang, Sayang?" Gadis itu mengangguk pelan walau ia masih sedikit sesegukkan.
Tak lama kemudian Mirabella datang sembari membawa nampan makanan, rautnya khawatir. Selama sebulan ini ia sungguh tak tenang, ia takut jika sang majikan benar-benar tak membuka mata lagi. Tapi syukurlah sekarang ketakutannya bisa musnah, tuan puterinya telah bangun. Tak ada yang lebih melegakan lagi dari ini.
"Valerie, makanlah dulu. Kau pasti sangat lapar karena belum makan berhari-hari." Gadis itu menatap nanar ibunya. Pantaskah ia mendapat rasa sayang ini? Pantaskah ia mendapat perhatian ini?
"I-ibu ...," lirihhya dengan mata berair.
"Ya, sayang? Apa ada yang sakit? Mau ibu panggilkan tabib?" Valerie menggeleng pelan.
Ia lalu memeluk Aretta. "Aku sayang ibu ...."
Bukan hanya Aretta, seluruh orang yang ada di sana pun terkejut. Sebenarnya apa yang terjadi pada Valerie mereka? Selama ia tertidur, apa ia mengalami sesuatu?
"Ibu juga menyayangimu, Nak. Kami semua menyayangimu, jadi kau harus tetap baik-baik saja, ya? Jangan sakit lagi," ucap Aretta sembari membalas pelukan putrinya itu.
Setelahnya, mereka menguraikan pelukan mereka. Mirabella datang ke samping Aretta, lalu menyodorkan makanannya. Aretta mengambil alih nampan itu, lalu mulai menyuapi putrinya itu dengan penuh sayang.
Gadis itu menatap mata ibunya dengan senyum getir yang terlukis pada bibir yang mulai mendapat ronanya kembali. Setelahnya, ia membuka mulut untuk menerima suapan dari sang ibu.
Aku pantas menerima ini? Semua kasih sayang ini, apakah aku pantas?
Berkali-kali gadis itu menerima suapan sang ibu. Namun, pertanyaan terus berkumandang dalam pikirannya.
Semua perhatian dan kasih sayang ini diperjuangkan oleh Nona Ellent. Pantaskah aku yang merasakannya?
Yap, jiwa Valerie kembali. Kini hanya sendiri. Tak ada lagi gadis angkuh yang suka seenaknya padanya, tak ada lagi gadis pemarah yang memerintah untuk mengendalikan tubuhnya. Tak ada lagi ... Nona Ellent-nya. Gadis itu telah memilih kebahagiaannya sendiri, dan melepas kebahagiaan yang ada di dunia ini. Ia melepas segalanya, termasuk Archer.
Tbc.
//1083//
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Different Souls[END]✔
Fantasy[ENDING] ●Budayakan follow sebelum membaca. ●Jangan lupa vote dan komen. *** [Belum revisi! Jadi, mohon maklum kalau penulisan ataupun alurnya acak adut. Sebenarnya ragu buat revisi juga sih, biar nanti ada pembanding karyaku yang dulu dan sekarang...