Valerie bergerak gelisah, peluh telah membasahi dahinya dan rautnya yang tertidur terlihat sangat tak nyaman. Kejadian-kejadian yang mengerikan menyerang pikirannya sekaligus, membuat gadis itu tersiksa.
"Kak Ernest!" Netra safir itu tiba-tiba keluar dari persembunyiannya. Valerie bangun dengan nafas terengah-engah.
"Yang Mulia! Anda sudah bangun?" Terlihat Mirabella yang datang dengan wajah khawatirnya. Valerie menatap dayangnya itu dengan sorot ketakukan yang jelas. Sorot mata yang sudah berhari-hari tak dilihatnya lagi.
"Mirabella, bagaimana keadaan Kak Ernest? D-dia baik-baik saja, 'kan?" Mata Valerie berkaca-kaca, ia sungguh khawatir.
"Pangeran ketiga baik, Yang Mulia. Beliau bahkan lebih dulu sadar daripada anda. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kalian sampai terluka begitu parah?" Valerie tak memperhatikan pertanyaan-pertanyaan Mirabella. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Ernest.
Ia segera bangkit dari tempat tidurnya, lalu berlari keluar. Ia mengacuhkan teriakan-teriakan Mirabella yang menyuruhnya berhenti.
Nafas Valerie tersengal-sengal ketika sampai di depan pintu kamar Ernest. Ia langsung membukanya tanpa mengetuk.
"Kak Ernest---!" Betapa terkejutnya Valerie ketika mendapati Ratu Calista, Clouwy, Alrick dan juga Achazia yang sedang menjenguk Ernest yang masih berbaring di tempat tidur, namun sudah membuka matanya.
"M-maafkan aku. Aku-aku tak tau kalau ada banyak orang di sini." Valerie menunduk sembari memainkan jarinya gugup. Ia begitu takut dengan pandangan orang-orang.
"Valerie." Ratu Calista segera menghampiri gadis itu lalu mendekapnya erat, Valerie yang awalnya tersentak kini malah terisak.
"Kenapa kau kemari, Sayang? Kondisimu juga masih buruk, tak seharusnya kau ke sini," ujar Ratu Calista sembari mengusap sayang puncuk kepala Valerie.
"A-aku khawatir. Aku sangat mengkhawatirkan Kak Ernest, aku-aku takut kehilangannya seperti aku kehilangan Kak Vathur." Hati Ratu Calista dan Ernest serasa dicabik-cabik mendengarnya. Ratu Calista ikut menjatuhkan air matanya, sementara Ernest berusaha mati-matian untuk menahan air matanya.
"Erry, kemarilah," panggil Ernest yang sudah bersandar pada kepala tempat tidurnya. Ia memegang tangan Valerie yang masih saja terisak.
Ernest menghapus air mata pada pipi adiknya itu. "Kau tak perlu khawatir lagi, sekarang kita aman. Kau dan aku, kita baik-baik saja." Ernest tersenyum lembut, membuat Valerie makin terisak.
"Kakak membuatku takut ... aku-aku benar-benar ketakutan, Kak. Jangan seperti itu lagi." Ernest terkekeh kemudian mengangguk pelan.
Kemarin ia baru saja membuka mata, setelah 6 hari tak sadarkan diri. Sama seperti Valerie, Ernest pun begitu khawatir akan keadaan adiknya itu. Begitu mendengar Valerie masih tak sadarkan diri, ia begitu khawatir sampai ingin segera menjenguk adiknya itu. Namun, sayangnya dihentikan Alrick. Ia tak diizinkan keluar kamar sampai pulih sepenuhnya. Dan hari ini malah Valerie yang duluan menghampirinya, padahal gadis itu masih sangat lemah.
"Aku janji," ujar Ernest yang langsung dihadiahi pelukan dari Valerie. Awalnya tersentak, namun setelah beberapa detik kemudian Ernest membalas pelukan itu dengan begitu hangatnya. Ratu Calista memandang terharu pada kedua anaknya itu.
"Kalian belpelukan tanpa Clouw?" Gadis mungil itu mengerucutkan bibirnya merajuk.
"Hohoho, adik kecilku juga mau dipeluk? Kalau begitu ayo!" Akhirnya si putri kecil ikut dalam acara pelukan mereka. Semuanya telah aman sekarang.
***
Seminggu telah berlalu, dan kini keadaan Ernest maupun Valerie telah baik-baik saja. Hari ini kedua orang itu tengah berdiri di depan tahkta raja yang menatap lekat keduanya dengan raut yang tak terbaca.
Ernest menoleh, ia menyadari ketakutan sang adik. Sejak masuk tadi Valerie sibuk memainkan jarinya sembari menunduk. Tubuhnya bahkan bergetar takut, matanya pun sudah berair. Sebegitu takutnya kah ia terhadap sang ayah?
"Erry, tenanglah. Ada aku bersamamu." Ernest memberikan senyuman hangatnya sembari menggenggam tangan Valerie yang ternyata basah dan dingin.
Valerie melirik singkat, kemudian mengangguk. Ia kembali menunduk, begitu takut untuk menghadapi ayahnya di tempat yang sangat mengerikan ini. Terakhir kali di ke sini, ayahnya mengasingkannya. Entah hukuman apalagi kali ini.
"Kalian berdua, bagaimana bisa pulang dengan keadaan terluka? Apa kalian pergi berburu monster?" Raut Damian sangat tak bersahabat. Nada bicaranya pun terkesan dingin, membuat Valerie makin ketakutan.
"Kami diserang cerberus, Ayah." Ernest menjawab. Kening Damian terangkat.
"Cerberus? Bukannya mahluk itu sudah punah?"
"Benar, Ayah. Tapi, malam itu kami benar-benar diserang cerberus."
Damian nampak memijat pangkal hidungnya. Semua ini memusingkan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada kerajaannya?
"Lalu, apa kalian tak bisa lari? Kenapa harus melawan mahluk-mahluk itu dan membahayakan nyawa kalian sendiri?"
Valerie makin gemetaran, ia teringat saat Ellent yang meninggalkan Ernest sendiri. Seandainya saat itu Ellent tetap bersama Ernest, mungkin Ernest tak akan terluka parah.
"Ayah, jika kami berdua lari bersama itu akan lebih---" Ucapan Ernest terpotong ketika adiknya sudah jatuh berlutud. Damian dan Ernest nampak begitu terkejut.
"M-maafkan aku, Ayah. I-ini kesalahanku, seharusnya aku t-tak meninggalkan kakak sendiri. Ini-ini salahku." Valerie terisak. Bahkan terasa sulit untuk sekedar menyelesaikan ucapannya.
Ernest segera mensejajarkan tinggi keduanya, ia merangkul bahu Valerie sayang.
"Erry, kau tak salah. Aku yang memintamu meninggalkanku. Kau tak salah, Erry."
Lagi-lagi perasaan bersalah menyerang hati Damian. Putrinya tumbuh dengan sifat menyalahkan diri sendiri, seandainya dulu ia tak mengambil keputusan itu. Mungkin semuanya akan jadi lebih baik.
"Kalian berdua berdiri." Ernest membantu Valerie berdiri, ia terus menyangga adiknya yang masih menangis itu. "Valerie, kau tak seharusnya meninggalkan kakakmu dalam keadaan apapun itu."
Ernest menatap Damian dengan sorot tak percaya dan kecewa. "Ayah." Ia memberengut.
"Dan kau Ernest, seharusnya kau berpikir panjang dan berusaha menyelamatkan nyawa kalian berdua, bukan hanya Valerie. Karena kesalahan kalian ini, kalian kuhukum untuk tak bisa meninggalkan istana selama sebulan. Ini keputusan akhirku," putus Damian memandang datar pada kedua putra-putrinya.
Damian lalu mengkode pengawalnya, tak lama kemudian musuklah seseorang yang dikenali Valerie.
Valerie yang sesekali masih terisak menatap orang itu. "T-tuan penyelamat?"
Yap, orang itu adalah lelaki misterius yang menolong mereka malam itu. Kini tudung dan jubahnya telah berubah menjadi pakaian kerajaan.
"Kau?" Ernest memandang orang itu dengan pandangan bertanya.
"Dia orang yang membawa kalian ke istana. Kalian harus berterima kasih padanya." titah Damian.
"Salam kepada bulan-bulan kerajaan. Saya Archer, pengembara yang kebetulan menolong kalian." Lelaki itu membungkuk singkat.
Valerie menghapus air matanya, lalu berusaha mengukir senyum di bibir mungilnya.
"T-terima kasih, Tuan. Saya sangat berterima kasih."
"Terima kasih, saya berhutang nyawa padamu." Ernest juga mengikuti.
"Kehormatan bagi saya."
"Sebagai tanda terima kasih kerajaan, Tuan Archer akan dijamu di kerajaan ini dan akan diberikan emas juga berlian."
"Maaf jika lancang, Yang Mulia. Namun, saya hanyalah pengembara yang tak terlalu membutuhkan emas maupun berlian. Jika saya diizinkan untuk beristirahat selama beberapa hari di kerajaan ini, maka saya akan sangat berterima kasih."
Damian mengangguk. "Baiklah, anda diizinkan untuk berada di kerajaan ini sampai kapanpun yang kau mau. Anda akan dilayani dengan baik selama di sini," putusnya.
Tbc.
//1072//
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Different Souls[END]✔
Fantasía[ENDING] ●Budayakan follow sebelum membaca. ●Jangan lupa vote dan komen. *** [Belum revisi! Jadi, mohon maklum kalau penulisan ataupun alurnya acak adut. Sebenarnya ragu buat revisi juga sih, biar nanti ada pembanding karyaku yang dulu dan sekarang...