Chapter 6

980 149 0
                                    

Ellent pergi ke pinggir untuk melihat-lihat jamuan yang ada. Sebuah shortcake cokelat yang dihiasi daun mint di atasnya berhasil menarik perhatian gadis itu. Ia mengambil sepotong, lalu memakannya menggunakan sendok.

"Enak juga," gumam Ellent sembari terus mengunyah.

"Wah, wah, wah, sepertinya putri pembunuh sedang menikmati jamuan, ya?" Ellent mengangkat kepalanya ketika mendapati beberapa gadis bangsawan yang mendatanginya. Ellent memberi pandangan tajam, tanda ia tak mau diganggu.

"Nona Sahna, jangan seperti itu. Tuan Putri sudah dipungut lagi oleh raja, jadi kita harus menghormatinya juga," celetuk yang lain. Ia memakai gaun merah dengan banyak renda yang menghiasi.

"Huh, kukira hanya rakyat jelata, ternyata bangsawan pun tak diajari tata krama." Ucapan Ellent sontak membuat para gadis bangsawan itu meradang. Sementara Ellent kembali santai mengunyah makanannya.

Jika ada yang bertanya di mana Mirabella, dia pamit sebentar untuk mencari kamar kecil, jadinya Ellent harus menghadapi para serangga ini sendirian.

"Beraninya kau---!"

"Berhenti Nona Sahna, kau tak perlu menanggapi ucapannya dengan emosi. Serahkan saja padaku, aku sangat tau bagaimana cara menghadapi putri sepertinya." Gadis yang memakai gaun merah itu tersenyum sinis. Sementara Ellent mengangkat satu keningnya, menantang.

"Baik, Nona Tarani. Beritahu dia tata krama para bangsawan," celetuk Sahna yang merasa sangat kesal.

"Jadi, Putri Valerie---"

"Wow, kau mengenaliku? Padahal aku saja tak mengenalmu sama sekali," sambar Ellent menunjukkan wajah polos yang palsu. Nona Tarani sempat terdiam, kemudian ia menyunggingkan senyum sinis.

"Tentu aku mengenalimu, Yang Mulia. Seluruh Kerajaan Elvathir tak mungkin tak mengenalmu, pembunuh pangeran mahkota terdahulu." Gadis itu menekankan kalimat terakhirnya yang membuat Ellent terpancing.

Ellent menaruh piring kecil yang berisi sisa kuenya, kemudian menatap Tarani dengan pandangan tertarik.

Sepertinya dia lawan yang menyenangkan.

"Wow, jadi aku sangat terkenal di kerajaan ini, ya? Tak kusangka putri pembunuh sepertiku bisa sangat terkenal." Ia menekankan kata 'pembunuh', sengaja untuk memancing perdebatan yang sepertinya akan makin panjang.

Tarani memandang Ellent dengan pandangan mencemooh. "Kau bangga, Yang Mulia? Ahh, sepertinya ini dampak karena diasingkan selama bertahun-tahun, ya? Psikismu rupanya terganggu. Kasihan sekali ckckck." Tarani menggeleng-gelengkan kepalanya, sok prihatin.

Ellent mengangkat sebelah keningnya. "Kau begitu penasaran dengan kehidupanku, ya? Apa kehidupanmu sangat tidak menarik, Nona? Sayang sekali, rupanya kau lebih menyedihkan dari seorang putri pembunuh." Ellent tersenyum puas ketika menyadari air muka Tarani yang berubah, sepertinya gadis itu mulai terpojok. Ellent suka ini.

"Menarik, Yang Mulia. Sekarang bisakah kau tuntaskan rasa penasaranku terhadap kehidupanmu?" Ellent pura-pura berpikir sejenak.

"Sebenarnya aku sibuk, tapi agar rasa penasaran gadis rendahan sepertimu bisa tuntas, sepertinya aku bisa meluangkan waktu sedikit." Seluruh bangsawan yang mendengar ucapan Ellent sontak kompak menahan nafas. Mereka semua sangat terkejut dengan ucapan Putri Valerie ini. Bukankah menurut rumor putri tumbuh menjadi gadis pendiam yang rapuh? Namun, apa ini?

Tarani berusaha mati-matian menahan amarahnya. Ia berdehem singkat. "Yang Mulia, bagaimana cara anda ... membunuh kakak anda sendiri? Pangeran Vathur."

Deg!

Sialan! Entah sudah yang keberapa kali perasaan Valerie terbagi pada Ellent. Memori kecelakaan yang menimpa Vathur dulu kembali memasuki kepala Ellent, seolah itu adalah ingatannya.

"Ini salahku, memang semua ini salahku. Seharusnya aku bisa menyelamatkan kakak dulu, pasti kami semua akan hidup bahagia hari ini." Di dalam sana, Valerie mulai terisak kembali membuat Ellent berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sesak pada dadanya.

Diamlah, Bodoh! Apa kau tak punya kegiatan lain selain menangis?!

"Maafkan aku ... kakak, dia pergi karena aku ...." Valerie terisak pilu di dalam sana membuat Ellent pusing.

Aku hanya akan mengatakannya sekali, jadi kau harus mendengarkan. Kematian kakakmu itu bukan salahmu, tapi hanya kecelakaan. Pahami itu atau aku akan membunuhmu jika kita bertatap muka lagi.

Ellent murka, ia benci sekali saat perasaan sesak yang tak seharusnya ia rasakan malah terus menderanya. Dan itu hanya karena gadis lemah seperti Valerie. Sialan!

Tanpa disadari Ellent, senyuman penuh kemenangan telah terukir indah pada bibir Tarani. "Kenapa, Yang Mulia? Apa kau sedang mengingat bagaimana caramu membunuh kakakmu itu?" Atensi Ellent kini kembali lagi pada Tarani. Ia menatapnya penuh kebencian, kemudian tersenyum bak psikopat membuat para bangsawan di sekitarnya merasa ngeri.

"Sepertinya, jika aku hanya menceritakannya hal itu tak akan terasa menarik. Bagaimana jika aku praktekkan saja, Nona Tarani?" Gadis bersurai kecoklatan itu merinding seketika. Tatapan tajam Ellent serasa menembus tubuhnya. Apalagi ucapan yang penuh penekanan itu, seperti Ellent telah mengibarkan bendera perang sungguhan.

Ellent maju selangkah membuat Tarani refleks mundur. "Kau mau aku praktekkan sekarang, Nona?"

"K-kau mengancamku?!" Seringaian Ellent makin lebar.

"Bukannya kau yang sangat penasaran?" Ellent kembali melangkah ke depan dan Tarani terus mundur ketakutan.

"Nona Tarani!" Langkah Ellent terhenti seketika. Ia menatap sinis pada gadis bersurai merah muda yang berjalan ke arah mereka.

Pengganggu baru datang. Menyebalkan!

"Nona Tarani, tak seharusnya kau menyudutkan Putri Valerie seperti tadi. Karena sekarang ia adalah adik iparku." Gadis itu--Achazia--merangkul Ellent akrab.

Tarani yang awalnya ketakutan, kini malah menatap Ellent penuh dendam. "Ini belum berakhir, Yang Mulia." Setelahnya, ia pergi bersama teman-temab sekutunya.

Achazia memandang Valerie cemas. "Putri Valerie, apa kau baik-baik saja?" Ellent menatapnya risih.

"Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku, kakak ipar. Tapi itu tidak perlu. Aku permisi." Ellent segera berlalu dari sana. Entah kenapa rasanya sangat gerah berada di dekat Achazia yang menurutnya sok baik.

Tanpa sepengetahuan Ellent, Achazia yang terdiam di tempat masih menatapnya yang makin menjauh. Tiba-tiba, sebuah senyum sinis terpatri samar pada bibir ranumnya.

"Kau sangat berbeda dari rumornya, Putri," gumamnya yang tak didengar siapapun.

***

Sementara itu, Ellent yang masih dilanda kemarahan memutuskan untuk pergi keluar. Namun saat baru saja akan melewati pintu utama, ia menabrak seseorang yang datang dari arah berlawanan. Ellent terhuyung, tapi beruntung karena pinggangnya bisa ditangkap dengan baik oleh orang yang menabraknya.

Tinggi semampai yang berhasil menutupi wajah Ellent dari cahaya lampu, surai hitam legam yang berkilau indah, badan tegap yang bisa mengalihkan dunia para gadis yang melihatnya, hingga netra semerah darah yang paling memikat Ellent. Tiba-tiba sebuah seringaian muncul pada bibir pria itu.

"Mengagumi ketampananku, Nona?" Baru tersadar, Ellent segera mendorong pria itu untuk melepaskan diri.

"Dalam mimpimu, Bodoh!" Setelahnya, Ellent benar-benar keluar dari ballroom.

Tanpa disadarinya, ternyata pria itu masih menatapnya hingga hilang dari balik pintu.

Seringai pria itu makin lebar. "Menarik." Yap, memang terdengar klise, namun itulah yang dikatakan oleh pria yang entah apa identitasnya itu.

Tbc.
//1015//

Two Different Souls[END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang